Gerakan Petani Branggah Banaran Dalam Masalah Tanah di Perkebunan Branggah Banaran Kabupaten Blitar Tahun 2000-2001
Abstract
Tanah Branggah Banaran yang menjadi sengketa antara petani Branggah
Banaran dengan PT. Perkebunan Branggah Banaran berawal dari terbitnya SK.
Menteri Agraria tanggal 19-04-1961 No. SK. 159/ka seluas 539,7000 ha dengan
sertifikat HGU No.1/Doko yang memberikan Hak Guna Usaha (HGU) kepada pihak
Perkebunan Branggah Banaran. Setelah masa Hak Guna Usaha itu selesai, pihak
Perkebunan Branggah Banaran kemudian mengadakan perpanjangan kembali,
sehingga keluar HGU tahun 1997 tertanggal 04 Juni 1997 dengan No.
42/HGU/BPN/1997 oleh Menteri Agraria/Kepala BPN maka terbit HGU No
2/Sidorejo dan berakhir sampai tahun 2022, tertanggal 31 Desember 2022. sehingga
menimbulkan konflik yang berkepanjangan yang akhirnya meluas dan menimbulkan
gerakan dari petani Branggah Banaran itu sendiri.
Dalam memperjuangkan kembali tanah milik mereka, berbagai macam cara
ditempuh, melalui jalur hukum maupun aksi-aksi demo, seperti long march dan aksi
pengerahan massa, yang seringkali dilakukan oleh para petani guna mengungkapkan
ketidakpuasan mereka terhadap kebijakan dari Pemerintah Kabupaten Blitar maupun
dengan pihak yang berseteru yaitu Perkebunan Branggah Banaran.
Dari berbagai aksi yang dilakukan petani Branggah Banaran, terdapat aksi
yang memilukan yang disebut tragedi “Minggu Kelabu”, tanggal 18 Juni 2000, yang
menyebabkan jatuhnya korban jiwa, dan beberapa orang terluka parah akibat
ditembak, serta tindakan kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian dalam konflik
masyarakat petani Branggah Banaran dengan pihak Perkebunan Branggah Banaran.
Dari berbagai aksi yang dilakukan para petani Branggah Banaran tersebut,
respon pihak perkebunan dalam menghadapi tuntutan para petani adalah dengan
memberikan kompensasi berupa 100 ton jagung dan pemberian kompensasi berupa
2,5% dari hasil produksi cengkeh kepada masyarakat Desa Sidorejo Kecamatan Doko
Kabupaten Blitar. Dalam pemberian kompensasi tersebut ada beberapa masyarakat yang tidak
mau menerima kompensasi, karena merasa memiliki tanah tersebut. Walaupun
beberapa dari masyarakat yang tidak mau menerima kompensasi dan terus berjuang
mendapatkan tanahnya kembali, pihak Perkebunan Branggah Banaran tetap
mengelola kembali tanah yang menjadi sengketa dengan adanya perpanjangan Hak
Guna Usaha bagi Perkebunan Branggah Banaran dengan menganggap masalah
sengketa tanah telah selesai dengan diberikannya kompensasi kepada masyarakat.
Tetapi dari pihak petani tetap pada pendiriannya yaitu ingin memiliki tanah.