PERGESERAN SIKAP POLITIK WARGA NU DI ERA KEPEMIMPINAN GUS DUR (STUDI KASUS HASIL PILKADA DI JEMBER, SITUBONDO DAN BANYUWANGI)
Abstract
Tradisi pesantren yang telah berakar dalam tubuh NU menjadikan
komunitas warga NU dalam beberapa dekade tetap memegang teguh prinsip
bahwa seorang kiai adalah sosok yang tidak bisa diganggu gugat oleh santrinya.
Kentalnya tradisi pesantren ini di kalangan warga NU juga berpengaruh pada
perilaku politik warga NU itu sendiri. Tradisi pesantren yang menganggap sosok
kiai adalah yang paling benar, menggiring warga NU untuk selalu mematuhi apa
yang dititahkan oleh seorang kiai. Termasuk dalam menentukan pilihan-pilihan
politik, kiai memiliki pengaruh besar bagi para pengikutnya. Keterlibatannya
dalam politik praktis, selain karena tuntutan idealisme untuk
mengimplementasikan ajaran Islam dalam kehidupan bernegara, juga untuk
mampu membaca kebutuhan masyarakat dalam bidang politik.
Keterlibatan warga NU di bidang politik selama ini adalah hal yang tidak
bisa dipungkiri. Ketika gerakan reformasi mampu menumbangkan rezim otoriter
Orde Baru yang ditandai turunnya Soeharto dari tampuk kepemimpinan dan
tampilnya BJ. Habibie sebagai presiden ketiga, disambut dengan euphoria politik
yang antara lain diberikannya kebebasan bagi masyarakat membentuk partai
politik (parpol). Warga NU tampaknya tak mau ketinggalan kereta politik. Mereka
sadar betul kalau basis massa yang dimiliki selama ini hanya digunakan dan atau
dieksploitasi oleh penguasa atau politisi-politisi lain, sementara NU selama Orde
Baru terpinggirkan.
Setiap keputusan politik yang dibuat oleh seorang kiai, dalam hal ini Gus
Dur – baik ketika sebelum menjabat dan ketika menjabat sebagai presiden, adalah
suatu kemutlakan bagi setiap warga NU untuk mematuhi dan melaksanakannya.
Namun, dengan berjalannya waktu, warga NU memiliki kecenderungan merubah
sikap politiknya.