Show simple item record

dc.contributor.authorDEBBY ARIA WIRASANTI
dc.date.accessioned2014-01-20T23:12:01Z
dc.date.available2014-01-20T23:12:01Z
dc.date.issued2014-01-20
dc.identifier.nimNIM020110301045
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/18729
dc.description.abstractDalam usaha untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupan petani dan memantapkan produksi gula nasional di Indonesia maka, pemerintah mengeluarkan Inpres No 9 Tahun 1975 yang dikeluarkan pada tanggal 22 April 1975 tentang pelaksanaan program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI). Dalam pelaksanaannya program TRI melibatkan beberapa pihak yang berfungsi sebagai koordinasi, perencanaan, pengendalian, pelayanan, pembinaan dan pengawasan terhadap program TRI. Beberapa pihak yang mendukung itu antara lain adalah pertama, petani atau kelompok tani, sebagai penyedia lahan. Kedua, Pabrik Gula, sebagai pengelola tebu menjadi gula. Ketiga, Satuan Pelaksana Bimbingan Massal (Satpel Bimas), sebagai lembaga pengawas serta pembantu dalam memberikan penyuluhan kepada para petani tebu. Keempat, Kantor Unit Desa (KUD), sebagai penyalur dana pinjaman bagi petani tebu serta penyedia sarana produksi perkebunan tebu. Kelima, Bank Rakyat Indonesia (BRI), sebagai penyedia dana pinjaman bagi petani tebu. Keenam, Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTR) sebagai wadah atau organisasi dalam memperjuangkan nasib petani tebu. Dalam pelaksanaan program TRI di Wilayah Pesantren pada kenyataannya belum bisa menyejahterakan kehidupan pera petani tebu seperti yang telah tercantum pada tujuan awal dibentuknya program TRI. Hanya sedikit orang yang menikmati hasil dari Program TRI, khususnya para pedagang tebu dan para birokrat yang terkait dengan program TRI sejak dari pusat sampai ke desa. Kerjasama dengan pabrik gula telah membawa pengalaman pahit yang sulit dilupakan oleh petani, mereka dirugikan mulai dari angka rendemen, waktu angkut dan tebang, serta waktu giling. Selain faktor-faktor tersebut terdapat faktor luar yang mempengaruhi turunnya minat petani untuk menanam tebu pada masa TRI. Pada masa TRI pembelian gula dari Pabrik Gula Pesantren Baru dilakukan sepenuhnya oleh Bulog sebagai lembaga ketahanan pangan. Pembelian gula oleh satu pembeli yang dikenal dengan sistem monopsoni ini bertujuan untuk menjaga harga gula dipasaran agar tidak terlalu jatuh yang dapat merugikan petani maupun terlalu tinggi yang dapat merugikan konsumen. Sistem monopsoni ternyata merugikan petani tebu. Bulog gagal menyelamatkan petani tebu karena harga beli gula seringkali jatuh dari harga pasarannya sehigga terkadang petani tebu tidak bisa menutup biaya produksinya. Selisih harga revenue dengan harga jual petani lebih banyak dinikmati oleh lembaga perantara yang ada dalam tataniaga gula tersebut. Keengganan minat petani untuk menanam tanaman tebu ini berakibat menurunnya produktifitas gula pada masa TRI. Adanya kerjasama kurang baik antara pabrik gula dan petani membuat pabrik gula mulai merasakan kekurangan bahan baku berupa tanaman tebu karena petani enggan menanam tanaman tebu terlebih enggan untuk menyerahkan lahannya untuk ditanami tebu. Keengganan petani terhadap program TRI juga dipicu karena adanya kondisi birokrat yang berbelit, hal ini menyebabkan keuntungan yang diperoleh petani tebu menurun. Semakin menurunnya produksi gula, akhirnya pemerintah mencabut program TRI. Inpres No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan program TRI ini dihapus dengan Inpres No. 5 Tahun 1998 yang berisi tentang pemberhentian sistem TRI yang berlaku sejak tanggal 21 Januari 1998. Inpres ini dikeluarkan berdasarkan pertimbangan bahwa dalam rangka pelaksanaan sistem budidaya tanaman, maka dipandang perlu memberikan peranan yang lebih besar kepada petani untuk menentukan jenis tanaman yang akan dibudidayakan serta cara pembudidayaannya. Adanya pencabutan program TRI, hubungan antara petani tebu di Wilayah Pesantren dan Pabrik Gula Pesantren Baru berubah menjadi sebuah hubungan kemitraan (pola kemitraan). Perubahan sistem pembinaan pergulaan nasional dilakukan sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang selama ini muncul berkaitan dengan budidaya tanaman tebu untuk mendukung produksi gula nasional. Adanya sistem kemitraan dalam budidaya tanaman tebu dimaksudkan untuk menumbuhkan motivasi yang lebih kepada para petani atau kelompok tani yang selama ini pada setiap musim tanam selalu menurun motivasinya sehingga mereka akan lebih termotivasi untuk melakukan usahatani tebu. Pola kemitraan antara petani tebu dengan Pabrik Gula Pesantren Baru mulai diterapkan sebagai pengganti kebijakan TRI. Pola ini menempatkan posisi petani sejajar dengan Pabrik Gula Pesantren Baru sehingga petani tidak lagi menjadi bawahan tetapi kini menjadi mitra kerja. Pabrik Gula Pesantren Baru selalu melibatkan petani setiap mengambil keputusan yang ada hubungannya dengan tebu petani. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebuah kesimpulan bahwa petani tebu di Wilayah Pesantren lebih menyukai pola kemitraan dari pada program TRI. Hal ini disebabkan karena dalam program TRI petani tidak mempunyai peranan dalam mengawasi hasil tebunya sehingga mereka merasa dirugikan karena banyak pihak yang turut campur dalam penanganan hasil produksinya tersebut dan akhirnya mereka lebih memilih menanam tanaman padi karena hasilnya dapat cepat dirasakan dan proses penanamannya tidak terlalu lama dan tidak rumit. Sedangkan pola kemitraan petani tebu mempunyai banyak peranan dalam pengelolaan lahannya sendiri serta dalam proses penjualan hasil produksinya. Sehigga dalam pola kemitraan ini petani tebu lebih mendapat keuntungan yang lebih banyak bila dibandingkan dengan menanam tebu meskipun proses penanamannya cukup lama.en_US
dc.language.isootheren_US
dc.relation.ispartofseries020110301045;
dc.subjectKEHIDUPAN SOSIAL-EKONOMI PETANI TEBUen_US
dc.titlePERKEMBANGAN KEHIDUPAN SOSIAL-EKONOMI PETANI TEBU DI KECAMATAN PESANTREN KOTA KEDIRI TAHUN 1997-2002en_US
dc.typeOtheren_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record