dc.description.abstract | Novel Bilangan Fu dan Novel Manjali dan Cakrabirawa merupakan
serangkaian novel seri yang memiliki keterkaitan dalam membahas masalah
religiusitas dan spiritualisme dalam masyarakat Jawa. Selama ini, telah terjadi
penyempitan makna terhadap pengertian religiusitas dan spiritualisme, sehingga
tidak jarang sebagian besar masyarakat salah mengartikannya. Apabila dikaji
secara mendalam, maka kedua hal tersebut dapat memberikan pemahaman baru.
Tujuan dari penelitian adalah: (1) mendeskripsikan keterjalinan unsur
intrinsik yang terkandung di dalam novel Bilangan Fu dan novel Manjali dan
Cakrabirawa; (2) mendeskripsikan mitos masyarakat Jawa yang mengkonstruksi
penceritaan dalam novel Bilangan Fu dan novel Manjali dan Cakrabirawa
dengan menggunakan teori Semiotika; (3) mendeskripsikan unsur-unsur
religiusitas masyarakat Jawa tradisional dalam novel Bilangan Fu dan novel
Manjali dan Cakrabirawa; (4) mendeskripsikan adanya dialektika religiusitas
masyarakat Jawa tradisional dan masyarakat Jawa modern dalam novel Bilangan
Fu dan novel Manjali dan Cakrabirawa.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yakni dengan menggunakan
pendekatan struktural dan semiotika dalam sastra. Pendekatan struktural
digunakan sebagai bentuk analisis awal sebuah karya sastra, sedangkan
pendekatan semiotika digunakan untuk mengungkap tanda-tanda di balik
peristiwa dalam sebuah karya sastra. Sekaligus dalam rangka melakukan
pemaknaan terhadap aspek-aspek religiusitas. Topik penulisan skripsi ini juga
mengarah pada aspek religiusitas sebuah novel Indonesia modern.
Dari analisis struktural novel Bilangan Fu dan novel Manjali dan
Cakrabirawa dapat diketahui bahwa tema mayor dalam Bilangan Fu adalah nilainilai
religiusitas dan spiritualisme Jawa mempengaruhi paham skeptis seseorang
vii
yang memunculkan sebuah pemikiran baru, sedangkan tema mayor novel Manjali
dan Cakrabirawa adalah rangkaian peristiwa kebudayaan yang mengilhami
seseorang dalam mengkaji setiap peristiwa kehidupan secara mendalam untuk
menemukan maknanya. Novel Bilangan Fu mempunyai alur campuran dan
berlatarkan waktu pada akhir masa Orde Baru dan awal munculnya Orde
Reformasi, sedangkan novel Manjali dan Cakrabirawa mempunyai alur maju
(dengan adanya dua pencerita) dan berlatarkan waktu pada masa awal Orde Baru
dan awal munculnya Orde Reformasi. Sementara untuk latar tempat, novel
Bilangan Fu menceritakan daerah-daerah di sekitar Bandung (Jawa Barat) dan
Yogyakarta, sedangkan novel Manjali dan Cakrabirawa menceritakan sebagian
besar wilayah di Pulau Jawa, yakni daerah-daerah sekitar kota Jakarta, Bandung,
Yogyakarta, dan Mojokerto. Kedua novel juga mempunyai keterkaitan dalam
membahas tokoh-tokohnya, yakni tokoh Sandi Yuda, Parang Jati, Marja, dan
Suhubudi. Tokoh-tokoh tersebut dimunculkan untuk mempertegas relasi
penceritaan antara novel Bilangan Fu dan novel Manjali dan Cakrabirawa.
Dengan pembahasan semiotika, dapat dipaparkan bahwa penceritaan kedua
novel tersebut mengarah pada berbagai fenomena kebudayaan yang terjadi di
masyarakat, terutama tentang dialektika budaya dan paham beragama.
Berdasarkan hal itu, pengarang memberikan pemaparan berupa kritik terhadap
modernisme, monotheisme, dan militerisme. Ketiga hal tersebut dijadikan oleh
pengarang sebagai suatu penanda awal bergesernya nilai- nilai budaya dalam
masyarakat. Adanya pengaruh militerisme dalam masyarakat terkadang
memberikan dampak negatif bagi sebagian individu yang merasa menjadi
kambing hitam, sebab sebagian besar peristiwa politik yang terjadi di dalam
masyarakat merupakan hasil manipulasi dan berfungsi sebagai pelegal kekuasaan
bagi pihak-pihak yang bersangkutan. Oleh karena itu, upaya untuk saling mengerti
dan memahami diantara anggota masyarakat sangat diperlukan agar tidak
menimbulkan kesalahpahaman dan berbagai macam problematika sosial. | en_US |