dc.description.abstract | Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) adalah sekumpulan gejala
yang ditimbulkan kerena tubuh kekurangan yodium secara terus menerus dalam
jangka waktu yang lama. Angka prevalensi GAKY di Kabupaten Jember mengalami
peningkatan dari 21,94% pada tahun 2003 menjadi 23,57% tahun 2007 (endemik
sedang). Dari 31 kecamatan yang ada, hampir semuanya termasuk daerah endemik
gondok. Masih tingginya prevalensi GAKY tersebut mungkin terjadi karena
kurangnya perhatian pemerintah terhadap faktor lain yang mempengaruhi kejadian
GAKY yaitu zat goitrogenik (pengganggu), yang dapat menghalangi pengambilan
yodium oleh kelenjar gondok sehingga konsentrasi yodium dalam kelenjar gondok
menjadi rendah. Pola konsumsi pangan sumber zat goitrogenik ini tergambar dalam
rata-rata kadar tiosianat urine yang bersifat membahayakan (> 0,61 µg/dl) di daerah
endemik gondok. Dengan pengolahan sederhana diharapkan kadar sianida bahan
makanan berkurang. Atas dasar itulah, penelitian ini dilakukan untuk menganalisis
perbedaan kadar sianogenik (sianida dan tiosianat) antara ditumis dan tidak ditumis
pada bahan pangan sumber zat goitrogenik.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimen semu (quacy
experimental) dengan bentuk rancangan One Group Pretest-Postest. Penelitian ini
dilakukan di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas
Jember. Sampel penelitian ini adalah bahan pangan sumber zat goitrogenik yang
biasa dikonsumsi oleh masyarakat antara lain: kubis, selada air/arnong, sawi putih,
kangkung dan sawi hijau. Data primer dikumpulkan dengan cara uji laboratorium dengan metode kolorimetri menggunakan alat spectofotometer yang digunakan untuk
mengetahui kadar sianogenik (sianida dan tiosianat). Analisis data menggunakan uji
independent sampel t-test yang sebelumnya dilakukan uji normalitas menggunakan
uji shapiro-wilk karena sampel ≤ 50 dengan tingkat signifikansi α=0,05.
Kadar sianogenik (sianida) antara ditumis dan tidak ditumis pada 100 mg
bahan pangan yaitu; kol/kubis sebesar 12,58 ppm, setelah ditumis menjadi 7,63 ppm,
selada air/arnong sebesar 15,94 ppm, menjadi 5,65 ppm setelah ditumis, sawi putih
sebesar 16,34 ppm menjadi 8,22 ppm, kangkung sebesar 13,17 ppm menjadi 8,02
ppm, dan sawi hijau sebesar 14,16 ppm menurun menjadi 7,82 ppm setelah ditumis.
Sedangkan untuk kadar tiosianat antara ditumis dan tidak ditumis pada masing-
masing bahan pangan antara lain; kol/kubis sebesar 2,57 ppm turun menjadi 2,47
ppm, selada air/arnong sebesar 3,24 ppm menjadi 2,07 ppm, sawi putih sebesar 3,32
ppm setelah ditumis menjadi 2,59 ppm, kangkung sebesar 2,69 ppm turun menjadi
2,55 ppm dan sawi hijau sebesar 2,89 ppm, setelah ditumis menurun menjadi 2,51
ppm.
Terdapat perbedaan yang signifikan untuk kadar sianida (HCN) pada pangan
sumber goitrogenik antara ditumis dan tidak ditumis dengan p=0,00 < α=0,05.
Sedangkan untuk kadar tiosianat antara ditumis dan tidak ditumis, tidak terdapat
perbedaan secara statistik p=0,021 < α=0,05. Hal ini membuktikan bahwa
pengolahan pangan sumber goirogenik dengan cara menumis efektif untuk
mengurangi kadar sianogenik (sianida dan tiosianat) sampai batas aman untuk
dikonsumsi. Batas aman yang diperkenankan dalam bahan pangan yaitu sebesar 10
ppm.
Diharapkan masyarakat yang ingin mengkonsumsi bahan pangan tersebut
sebaiknya tidak dalam keadaan mentah tetapi harus melalui proses pemasakan
misalnya ditumis. Disamping itu juga perlu mengurangi frekuensi konsumsi dan
jumlah bahan pangan tersebut karena proses penumisan ternyata tidak dapat
menghilangkan seluruhnya kandungan sianogenik (sianida dan tiosianat) tetapi hanya
mengurangi < 50%. | en_US |