dc.description.abstract | Beras merupakan komoditas strategis karena merupakan bahan pangan pokok
bagi hampir seluruh rakyat Indonesia, selain bernilai ekonomis juga mengandung
nilai psikologis, sosial dan politik. Sejak tahun 1994 Indonesia sudah tidak
berswasembada beras lagi, karena setelah swasembada beras diraih pada tahun 1984
produksi beras cenderung menurun dan tidak stabil. Produksi beras dalam negeri
tidak dapat diandalkan lagi sehingga terpaksa mengimpor beras. Impor beras terus
berlanjut dengan volume yang membesar. Dalam tahun 1985-1993 (periode
swasembada) impor beras hanya rata-rata 0,16 juta ton/tahun, pada tahun 1994-1997
(periode sebelum krisis ekonomi) meningkat menjadi rata-rata 1,10 juta ton/tahun dan
pada tahun 1998-2000 (periode krisis) meningkat lebih besar lagi menjadi rata-rata
4,65 juta ton/tahun. Dilihat dari berbagai segi ketergantungan kepada impor beras
secara berkelanjutan dan dalam volume besar sangat tidak menguntungkan karena
dapat merupakan ancaman serius bagi ketahanan pangan nasional. Untuk itu maka
Indonesia harus memacu produksi beras dalam negeri yang lebih serius melalui
terobosan-terobosan teknologi produksi yang lebih unggul dan ramah lingkungan
yang dapat diterapkan secara optimal ditingkat petani sehingga produktivitas dapat
ditingkatkan tanpa merusak lingkungan. Selain itu peningkatan produksi beras dapat
dilakukan melalui peningkatan intensitas tanam dan perluasan areal di luar Jawa serta
menerapkan kebijakan yang memberikan insentif yang menggairahkan petani untuk
mau memproduksi padi.
Penulisan karya ilmiah ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dan
temuan-temuan yang disajikan dalam penelitian ini diperoleh berdasarkan studi
literatur (desk research) dan wawancara mendalam (indepth interview). Wawancara
mendalam dilakukan oleh Peneliti kepada narasumber dari berbagai kalangan yang
kompeten. Sehingga dalam tulisan ini lebih banyak disajikan data-data sekunder yang
terbaru yang berhasil dihimpun oleh penulis dari berbagai sumber diantaranya BPS,
vii
BULOG, Departemen Pertanian, BAPPENAS, Departemen Perdagangan, DPR-RI,
INDEF, HKTI, Kompas, Jawa Pos, Media Indonesia dan untuk memperkuat variable
analisisnya penulis melakukan wawancara dengan beberapa orang yang kompeten
dalam masalah kebijakan pangan di negeri ini, diantaranya; Dr. Ir. Siswono Yudho
Husodo (Ketua Dewan Penasehat Himpunan Kerukunan Tani Indonesia), Prof. Dr.
Bustanul Arifin, MA (Guru Besar Universitas Lampung dan Peneliti Senior INDEF
Jakarta), Drs. Choirul Saleh Rasyid, M.Si (Anggota DPR-RI FKB dan sekaligus juru
bicara pemrakarsa Hak Interpelasi mengenai Kebijakan Impor Beras), dan Khudori,
SP. (Pengamat Kebijakan Pangan Nasional dan Penulis Buku Neoliberalisme Petani)
Dalam formulasi kebijakan perberasan nasional sebagai salah satu
implementasi Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996 tentang Ketahanan Pangan
cenderung mengabaikan kepentingan para produsen(petani padi), ini terlihat pada
rencana ketersediaan stok cadangan nasional dan perhitungan angka produksi serta
konsumsi yang tidak ada kejelasan dan kepastian sehingga dapat mempengaruhi
stabilitas harga pada produsen. Secara teoritis, formulasi kebijakan impor beras telah
terjadi penyimpangan pada prosesnya. Hal ini dapat kita lihat dari mekanismenya
yang cenderung hanya melibatkan pihak-pihak tertentu sehingga tidak libatkannya
para petani dalam proses kebijakan. Di sisi lain kita dapat melihat betapa sangat
lemahnya pemerintah dalam menentukan rentan waktu perencanaan awal mengenai
kebijakan termasuk di dalamnya kebijakan impor beras dan lemahnya koordinasi
antar sektor, terutama yang terkait dengan pertanian untuk menutupi isu kekurangan
cadangan beras nasional yang ada pada gudang Bulog. Di sisi evaluasi kebijakan
pangan khususnya impor beras, kecenderungan pemerintah masih sebatas jalan di
tempat. Karena hampir seluruh produk kebijakan yang diambil lebih pada retorika
belaka ketimbang menghasilkan terobosan baru untuk diambil sebagai solusi dari
produk sebelumnya. | en_US |