PERLAWANAN PETANI KETAJEK TERHADAP PERUSAHAAN DAERAH PERKEBUNAN JEMBER TAHUN 1974-2002
Abstract
Tanah dalam masyarakat agraris, mempunyai makna yang sangat penting.
Besarnya makna tanah tidak saja terkait dengan kebutuhan dasar dalam rangka
subsistensi, tetapi juga menjadi penopang obyektif guna mendefinisikan identitas
diri.
1
Tanah juga memiliki variasi makna baik dari sisi ekonomi, sosial, politik,
maupun magis religius. Variasi makna itulah yang mendorong manusia dalam
hidupnya dipenuhi oleh usaha menguasai, memiliki, ataupun hanya sekedar
mengambil manfaat darinya.
2
Nilai tanah bisa ditentukan oleh kelangkaannya, yang di alam pasar selalu
tergantung rasio antara luas wilayah dan jumlah penduduk (perbandingan luas tanah
dengan jumlah penduduk). Jika rasio luas tanah menurun atau dengan kata lain terjadi
peningkatan jumlah penduduk, maka nilai tanah akan meningkat, dan tanah kemudian
berkembang menjadi sumber konflik di antara kelompok-kelompok ekonomi dan
kelompok sosial dalam komunitas.
Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa agraris, di mana seluruh kehidupan
perekonomian masyarakatnya menyandarkan diri pada hasil pengolahan tanah.
Tanah-tanah subur yang ada di wilayah Indonesia pada awal kemerdekaan, status
hukumnya banyak yang masih dimiliki oleh para pengusaha perkebunan Barat yang
1
Edi Suhardono, “Matra Sosial Tanah, Tegangan Alam Hukum dan Hukum Alam”, dalam
Jurnal Gerbang, No. IV. 9, 2002, hlm. 119.
2
Dominikus Rato, Tanah Sebagai Pewaris pada Masyarakat Ngadha ; Makna dan
Dinamikanya, Sebuah Kajian Antropologi Hukum, (Tesis S2 Program Pascasarjana Universitas
Airlangga, 1996), hlm. 10.
2
sudah ditinggalkan, sehingga memunculkan keprihatinan bagi partai-partai politik
radikal yang mempunyai visi untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat. Partai
politik seperti PKI (Partai Komunis Indonesia) memandang bahwa perkebunan milik
pengusaha Barat yang sudah ditinggalkan itu merupakan representasi kepentingan
kolonial yang eksistensinya kontradiktif dengan alam kemerdekaan. Status hukum
kepemilikan tanah oleh para pengusaha perkebunan Barat dianggap sebagai rintangan
bagi kaum tani dalam upaya mendapatkan akses yang lebih luas terhadap tanah yang
diperlukan dalam rangka pengembangan produksi pertanian.
3
Desakan dan kritik
yang dilancarkan oleh partai-partai politik radikal seperti PKI tersebut, menjadi salah
satu alasan Pemerintahan Soekarno mengeluarkan Undang-Undang Darurat Nomor 8
Tahun 1954 yang isinya mengijinkan pemakaian tanah perkebunan oleh masyarakat
sejak tanggal 12 Juni 1954.
4
Pada akhirnya, masyarakat di daerah-daerah yang jauh dari pusat pemerintah
tidak percaya lagi dengan pemerintah pusat, dimana pemerintah pusat dianggap tidak
bisa mengentaskan berbagai permasalahan, seperti kemiskinan dan status hak
kepemilikan tanah bagi masyarakat.
5
Ketidakpercayaan masyarakat terhadap
pemerintah pusat dimanfaatkan oleh partai-partai politik yang butuh dukungan
masyarakat bagi program partai yang hendak diajukan kepada pemerintah.