Show simple item record

dc.contributor.authorSahana Yuda
dc.date.accessioned2014-01-15T07:16:27Z
dc.date.available2014-01-15T07:16:27Z
dc.date.issued2014-01-15
dc.identifier.nimNIM010110201111
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/14666
dc.description.abstractDewa adalah anak yang menderita cacat tubuh berupa tunawicara, tunanetra dan tunarungu atau disebut tunadaksa. Ia bertahan hidup hingga umur hampir delapan tahun. Berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan, sejak lahir Dewa mengalami kelainan sistem peredaraan darah yang membuat tubuhnya tidak dapat tumbuh dan berkembang seperti anak-anak pada umumnya. Selain itu, Dewa mengalami kerusakan jaringan otak. Pada umur dua hari, Dewa diserahkan ke panti asuhan oleh orang tuanya. Dewa bernasib bagus karena pada umumnya anak-anak tunadaksa, seperti Dewa, dibuang oleh orang tuanya di sembarang tempat, seperti dibuang ke tong sampah, dibuang ke sungai atau ditinggalkan begitu saja di lapangan sepak bola. Di panti asuhan, Dewa dirawat oleh seorang ibu asuh bernama Renjani. Renjani adalah perempuan berumur 30 tahun yang telah meninggalkan kota kelahirannya Jakarta untuk melupakan masa lalunya. Ia memiliki rumah warisan bergaya Belanda yang dibangun tahun 1887. Rumah itu ia jadikan panti asuhan untuk menampung dan merawat anak-anak tunadaksa yang dibuang oleh orang tuanya. Panti asuhan tersebut bernama Rumah Asuh Ibu Sejati yang terletak di daerah pengrajin perak bernama Kotagede di pinggiran kota Yogyakarta. Renjani merawat anak-anak tunadaksa di panti asuhan bersama Mbak Wid dan para perawat. Mbak Wid adalah perempuan berumur 40 tahun. Ia merupakan dokter anak di panti asuhan di waktu pagi hari dan peramal di waktu malam hari. Setiap hari Mbak Wid menolong anak-anak tunadaksa di panti asuhan. Pengabdian Mbak Wid dan Renjani kepada anak-anak tunadaksa membuat keduanya rela berkorban untuk tidak menikah. Setiap malam Renjani dan Dewa menemani Mbak Wid meramal kehidupan anak-anak tunadaksa. Mbak Wid meramal di suatu ruang yang disebut ruang lilin. Kartu ramalan Mbak Wid selalu mengarah pada kenyataan. Hal ini dibuktikan dengan setiap kartu yang menandakan kematian, selalu ada bayi tunadaksa yang meninggal. Dewa mendapat kasih sayang lebih dari Renjani, sehingga ia dianggap sebagai anak kandung oleh Renjani. Kasih sayang itu berupa perhatian seperti selalu bercerita tentang kehidupan dan sering mengajak Dewa bepergian. Dengan kasih sayang dan kesabaran, Renjani melatih Dewa merasakan kehidupan. Kasih sayang dari Renjani juga dirasakan oleh anak-anak tunadaksa lainnya. Hal ini tampak pada tindakan Renjani yang menyediakan tempat untuk menampung dan merawat anak-anak tunadaksa. Selain itu, Renjani juga menyediakan tanah untuk makam bayi-bayi tunadaksa yang meninggal. Renjani selalu berbagi pengalaman dengan Mbak Wid. Salah satu pengalaman yang tidak dapat dilupakan Renjani adalah ketika ia diperkosa oleh guru tarinya. Ketika muda, Renjani bercita-cita menjadi penari balet. Ia belajar tari balet dengan tekun untuk mewujudkan cita-citanya, tetapi cita-cita itu gagal setelah ia diperkosa oleh guru tarinya. Akibat pemerkosaan itu, Renjani hamil dan berusaha menggugurkan kandungannya untuk menutupi aib. Ia mengalami trauma berat akibat peristiwa tersebut. Mbak Wid juga mengalami masa lalu yang suram. Ketika kecil, Mbak Wid tidak mengetahui perbuatan yang dilakukan ibunya. Ibu Mbak Wid bekerja sebagai pelacur, yang selalu berganti-ganti teman laki-laki. Selain itu, ibunya sering hamil dan selalu menggugurkan kandungannya. Setelah Mbak Wid dapat membaca, ia mulai mengerti perbuatan yang dilakukan ibunya. Mbak Wid merasa sakit hati karena salah satu tamu ibunya mengolok perbuatan ibunya seperti Gandari, salah satu tokoh pewayangan Mahabharata. Atas peristiwa itu, Mbak Wid bersumpah pada diri sendiri untuk menjadi dokter anak. Dengan menjadi dokter anak, ia ingin menolong anak-anak dan tindakannya ini sebagai baktinya kepada ibunya yang telah berkorban dengan penuh kasih sayang untuk membesarkannya. Suatu hari, Renjani yang dulu pernah bercita-cita menjadi seorang penari balet, menemukan sepatu baletnya. Dipakainya sepatu itu dan ia menari untuk Dewa. Dewa mendadak mengangkat kepalanya, untuk yang pertama kalinya. Berpikir bahwa musik dan tari kemungkinan adalah terapi yang tepat untuk Dewa, Renjani kemudian mengajak Dewa menonton sebuah resital biola. Di acara itu Renjani dan Dewa berkenalan dengan Bhisma, salah satu pemain biola yang berstatus mahasiswa jurusan musik, berumur 22 tahun. Perkenalan antara Renjani, Dewa dan Bhisma membentuk jalinan persahabatan dan konflik. Perkenalan tersebut membuat Bhisma mengetahui dunia anak-anak tunadaksa di panti asuhan. Bhisma mengagumi Renjani yang begitu mendedikasikan hidupnya untuk anak-anak tunadaksa yang telah dibuang oleh orang tuanya. Bhisma melihat Dewa dan bayi-bayi cacat lainnya sebagai ciptaan Tuhan yang indah, tetapi tidak diberkati dengan kehidupan yang berguna. Seperti sebuah biola yang tidak ada dawai-dawainya. Bhisma sering berkunjung ke panti asuhan. Hal ini seperti yang ia lakukan pada saat ulang tahun Dewa. Bhisma ikut merayakan ulang tahun Dewa yang ke delapan bersama Renjani, Mbak Wid dan para perawat panti asuhan. Suatu ketika, Bhisma memainkan biolanya, mengiringi Renjani yang menari balet. Untuk kedua kalinya, Dewa mengangkat kepalanya. Peristiwa itu membuat Renjani dan Bhisma bahagia dan tanpa sadar keduanya berpelukan. Tiba-tiba Renjani teringat masa lalunya. Renjani segera melepaskan pelukan Bhisma dan mengusirnya. Peristiwa itu membuat Bhisma tidak pernah datang ke panti asuhan. Dalam kebimbangan Bhisma mengungkapkan perasaannya dengan menciptakan sebuah lagu. Ia berhasil menciptakan lagu berjudul “Biola Tak Berdawai”. Lagu itu ditujukannya untuk Renjani dan Dewa. Bhisma mengajak Renjani dan Dewa melihat hasil karyanya dalam pertunjukkan resital biola, namun Renjani dan Dewa tidak hadir dalam pertunjukkan biolanya. Ketidakhadiran Renjani tersebut disebabkan Renjani mengalami rasa sakit karena kanker rahim yang telah menyebar di dalam tubuhnya. Akibat penyakit tersebut, Renjani jatuh sakit dan meninggal. Bhisma yang mencoba mencari tahu penyebab ketidakhadiran Renjani di panti asuhan, hanya bertemu dengan Mbak Wid. Secara tidak langsung Mbak Wid memberitahu Bhisma, bahwa Renjani telah meninggal karena kanker rahim. Kehidupan panti asuhan sepeninggal Renjani tidak mengalami perubahan, perubahan hanya dialami oleh Dewa. Dewa merasa kesepian setelah kematian Renjani, karena ia kehilangan kasih sayang dari ibu asuhnya. Kesepian juga dialami Bhisma, karena ia merasa telah jatuh cinta kepada Renjani, tetapi ia belum mengungkapkan perasaannya tersebut. Untuk mengenang pengabdian dan pengorbanan Renjani, Bhisma mengajak Dewa ke makam Renjani. Bhisma menyanyikan lagu ciptaannya di atas makam Renjani. Secara tidak langsung permainan biola Bhisma membuat Dewa mengangkat kepala dan mengucapkan beberapa kata. Peristiwa itu membuat Bhisma merasa bahagia.en_US
dc.language.isootheren_US
dc.relation.ispartofseries010110201111;
dc.subjectNOVEL BIOLA TAK BERDAWAIen_US
dc.titleKAJIAN HUMANIORA NOVEL BIOLA TAK BERDAWAI KARYA SENO GUMIRA AJIDARMAen_US
dc.typeOtheren_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record