Show simple item record

dc.contributor.authorI Wayan Budiarta
dc.date.accessioned2013-12-24T08:10:15Z
dc.date.available2013-12-24T08:10:15Z
dc.date.issued2013-12-24
dc.identifier.nimNIM100720101005
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/12643
dc.description.abstractKebijakan hukum pidana saat ini (ius constitutum) mengatur para pihak yang dapat mengajukan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dalam perkara pidana ialah terpidana atau ahli warisnya sebagaimana diatur dalam norma Pasal 263 ayat (1) KUHAP. Pasal 263 ayat (1) KUHAP menentukan: “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”. Akan tetapi hal tersebut dalam praktek, Mahkamah Agung RI menerima dan mengakui Jaksa Penuntut Umum sebagai salah satu pihak yang dapat mengajukan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dalam perkara pidan selain terpidana atau ahli warisnya. Hal ini terdapat dalam beberapa kasus yang telah diputus oleh Mahkamah Agung RI, seperti antara lain: kasus Muchtar Pakpahan yang diputus melalui putusan Peninjauan Kembali nomor 55 PK/Pid/1996, tanggal 25 Oktober 1996, kasus Ram Gulumal alias V. Ram atau yang dikenal dengan kasus The Gandhi Memorial School yang diputus melalui peninjauan kembali nomor 3 PK/Pid/2001, tanggal 2 Agustus 2001, kasus Soetiyawati alias Ahua Binti Kartaningsih yang diputus melalui putusan peninjauan kembali nomor 15 PK/Pid/2006, tanggal 19 Juni 2006, kasus Pollycarpus Budihari Priyanto yang diputus melalui putusan nomor 109 PK/Pid/2007, tanggal 25 Januari 2008, kasus Syahril Sabirin yang diputus melalui putusan peninjauan kembali nomor 07 PK/Pid.Sus/2009, tanggal 8 Juni 2009 maupun dalam kasus Joko Soegiarto Tjandra yang diputus melalui putusan nomor 12 PK/Pid.Sus/2009, tanggal 11 Juni 2009. Masalah kewenangan Jaksa Penuntut Umum melakukan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dalam perkara pidana harus segera dipertegas pengaturannya agar terjamin kepastian hukum di Indonesia dengan melakukan kebijakan hukum pidana untuk yang akan datang (ius constituendum). Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: pertama; apakah Jaksa Penuntut Umum dapat dibenarkan untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali dalam perkara pidana. Kedua; bagaimana penerapan upaya hukum peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum dalam praktek peradilan pidana di Indonesia. Ketiga; bagaimana seyogyanya pengaturan upaya hukum peninjauan kembali bagi Jaksa Penuntut Umum dalam pembaharuan hukum acara pidana Indonesia (RUU KUHAP) dimasa yang akan dating. Lebih lanjut, penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan historis, pendekatan konseptual dan pendekatan kasus. Sumber bahan hukum yang digunakan, yaitu sumber bahan hukum primer dan sekunder dengan teknik pegumpulan data melalui studi kepustakaan dan studi peraturan perundang-undangan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pertama, masalah Jaksa Penuntut Umum mengajukan permintaan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dalam perkara pidana merupakan penyimpangan dari hukum positif (KUHAP) dan tidak dapat dibenarkan karena Norma Pasal 263 ayat (1) KUHAP merupakan norma yang sudah jelas dan limitatif mengatur para pihak yang dapat mengajukan peninjauan kembali, yaitu terpidana atau ahli warisnya. Disamping itu juga, sejarah dan dibentuknya lembaga peninjauan kembali semata-mata ditujukan bagi terpidana untuk meminta pemeriksaan ulang atas perkaranya. Sebagai contoh kasus Sengkon dan Karta. Kedua, penerapan upaya hukum peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum dalam praktek di Indonesia, Mahkamah Agung tidak konsisten karena disatu sisi mengabulkan permintaan peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum dan disisi lain menolak perkara peninjauan kembali Jaksa Penuntut Umum, seperti antara lain kasus H. Mulyar bin Samsi dari Muara Tuweh yang telah diputus dengan Putusan MA RI Nomor 84 PK/Pid/2006. Mahkamah Agung RI menolak permintaan peninjauan kembali dari Jaksa Penuntut Umum dengan alasan karena Pasal 263 ayat (1) KUHAP telah mengatur secara tegas dan limitatif yang dapat mengajukan peninjauan kembali ialah terpidana atau ahli warisnya (alasan undang-undang), Putusan Mahkamah Agung No. 25 PK/Pid.Sus/2007, Putusan Mahkamah Agung No. 07 PK/Pid.Sus/2009, Putusan Mahkamah Agung No. 40 PK/Pid/2009, putusan Mahkamah Agung No. 16 PK/Pid.Sus/2007, Putusan Mahkamah Agung No. 153/Pid/2010, Putusan Mahkamah Agung No. 71 PK/ Pid.Sus/2009, Putusan Mahkamah Agung No. 38 PK/Pid.Sus/2011, Putusam Mahkamah Agung No. 84 PK/PJK/ 2010. Pertimbangan-pertimbangan hukum yang dikemukakan oleh dua (2) majelis pada Mahkamah Agung tersebut tentu membingungkan, yang mana harus diikuti karena tidak satu. Hal ini akan menimbulkan adanya ketidakpastian hukum. Ketiga, Terhadap kasus tersebut yang telah diputus oleh majelis Mahkamah Agung yang menerima dan mengakui Jaksa Penuntut Umum juga sebagai pihak yang dapat mengajukan peninjauan kembali menimbulkan perdebatan pro dan kontra dari kalangan pakar hukum. Perdebatan tersebut berlarut larut akibat multi tafsir dalam norma Pasal 263 ayat (1) KUHAP di kalangan penegak hukum. Oleh karena itu, perlu diatur lebih tegas pengaturannya dengan melalui kebijakan hukum pidana yang akan datang (ius constituendum). Kebijakan hukum pidana (di bidang hukum pidana formal) dapat dilakukan dengan cara melakukan pembaharuan hukum pidana (pembaharuan substansi hukum pidana formal). Pembaharuan hukum pidana (pembaharuan substansi hukum pidana formal), yaitu KUHAP dapat dilakukan dengan cara merevisi atau membuat Konsep KUHAP baru (RUU KUHAP). Dalam rangka pembaharuan hukum acara pidana (RUU KUHAP), Jaksa Penuntut Umum tidak perlu diberikan melakukan upaya hukum peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Hal ini didasari oleh beberapa alasan, pertama, sebagai perbandingan dari negara-negara lain hanya negara China yang membolehkan Kejaksaan mengajukan peninjauan kembali. Kedua, Sejarah KUHAP untuk memberikan jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Maksud pembentukan lembaga peninjauan kembali semata-mata ditujukan bagi terpidana untuk meminta pemeriksaan ulang atas perkaranya, bukan untuk kepentingan negara. Munculnya atau mencuatnya persoalan lembaga peninjauan kembali dimulai sejak terjadinya kasus Sengkon dan Karta. Ketiga, KUHAP xii dibangun dengan filosofi perlindungan bagi pihak yang lemah dan rentan terhadap kekuasaan negara. Dibentuknya lembaga peninjauan kembali semata-mata ditujukan bagi kepentingan terpidana, bukan kepentingan negara atau korban karena substansi upaya hukum peninjauan kembali berpijak pada dasar bahwa negara telah salah mempidana penduduk yang tidak berdosa yang tidak dapat diperbaiki lagi dengan upaya hukum biasa. Keempat, menurut pandangan para praktisi hukum yang penulis wawancarai mengatakan bahwa Jaksa Penuntut Umu tidak perlu diberikan upaya hukum peninjauan kembali karena hak/kewenangan yang dimiliknya sudah cukup besar mulai dari pemeriksaan tingkat pertama (PN), banding (PT), dan kasasi (MA) untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Oleh karena itu secara konseptual bahwa praktik Jaksa Penuntut Umum mengajukan permintaan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dalam perkara pidana merupakan penyimpangan dari hukum posistif (Pasal 263 ayat (1) KUHAP) dan tidak dapat dibenarkan karena norma Pasal 263 ayat (1) KUHAP secara tegas dan limitatif menetapkan terpidana atau ahli warisnya yang dapat mengajukan peninjauan kembali. Selain itu, dalam rangka pembaharuan hukum acara pidana (RUU KUHAP) Jaksa Penuntut Umum tidak perlu diberikan melakukan upaya hukum peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dalam perkara pidana. Dan sebagai saran adalah untuk mencegah ketidak pastian hukum dan sekaligus untuk menjaga asas keadilan dan untuk melindungi kepentingan masyarakat atau kepentingan umum, maka sebaiknya hak/kewenangan Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali perlu diatur secara tegas dan jelas dalam peraturan perundang-undangan.en_US
dc.language.isootheren_US
dc.relation.ispartofseries100720101005;
dc.subjectYURIDIS KEWENANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM MELAKUKAN PENINJAUAN KEMBALI DALAM PERKARA PIDANAen_US
dc.titlePROBLEMATIKA YURIDIS KEWENANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM MELAKUKAN PENINJAUAN KEMBALI DALAM PERKARA PIDANAen_US
dc.typeOtheren_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record