PRINSIP PENGAMBILAN BENDA JAMINAN PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN MELALUI JURU TAGIH AKIBAT DEBITUR WANPRESTASI
Abstract
Perjanjian pembiayaan konsumen mula-mula timbul dalam praktik untuk
menampung berbagai persoalan bagaimana cara memberikkan jalan keluar apabila
pihak penjual menghadapi banyak permintaan tetapi para calon pembeli tidak
mampu membayar secara tunai. Dan agar dapat memperlancar proses jual beli
tersebut, maka ditemukan cara jual beli mengangsur secara periodic setiap bulan.
Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 34/Kep/II/1980 tentang
Sewa-Beli, Dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia,
Buku III KUH Perdata adalah produk hukum Pemerintah sebagai dasar hukum
yang dapat dipakai sebagai landasan untuk transaksi pada pembiayaan konsumen.
Hubungan antar pihak didasarkan pada perjanjian baku yang dibuat secara sepihak
oleh kreditur. Keabsahan perjanjian baku ini tidak menjadi permasalahan, namun
yang perlu dipermasalahkan adalah prinsip pengambilan benda jaminan oleh
kreditur melalui juru tagih dan pengambilan benda jaminan pembiayaan secara
sepihak serta tindakan juru tagih dalam mengambil benda jaminan pembiayaan
konsumen apa dapat dikatagorikan sebagai perbuatan yang melawan hukum.
Tujuan penelitian ini, (1) untuk mengkaji dan menganalisis prinsip pengambilan
benda jaminan pada perjanjian pembiayaan konsumen oleh kreditur melalui juru
tagih jika debitur wanprestasi, (2) untuk mengkaji dan menganalisis pengambilan
benda jaminan secara sepihak dan (3) untuk mengkaji dan menganalisis tindakan
juru tagih dalam mengambil benda jaminan pembiayaan konsumen itu apa dapat
digolongkan sebagai tindakan yang melawan hukum.
Metodologi penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute
approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan asas
hukum.
Berdasarkan hasil kajian terhadap bahan hukum yang ada pada penelitian ini dapat
disimpulkan sebagai berikut: (1) juru tagih harus mendapatkan surat tugas secara
formal dari kreditur atau koordinator juru tagih dan tidak boleh bertentangan
dengan hukum yang berlaku, (2) pengambilan benda jaminan pada perjanjian
pembiayaan konsumen secara sepihak tidak dibenarkan jika tata cara, prosedur,
dan mekanismenya tidak dilalui dengan benar dan (3) tindakan yang dilakukan
x
secara prosedural dan sopan santun sesuai teori perlindungan hukum, maka juru
tagih tersebut tidak bisa dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum.
Sebaliknya juru tagih dalam melaksanakan tugasnya tidak dibekali dengan surat
tugas atau surat kuasa, tidak sesuai dengan prosedur dan mekanisme yang berlaku,
maka tindakan juru tagih itu termasuk perbuatan yang melawan hukum.
Sebagai saran dari tesis ini, yang pertama bahwa pemerintah hendaknya dapat
segera menciptakan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang juru
tagih, agar tercipta suatu kepastian hukum, kedua bahwa meskipun perjanjian
yang dibuat adalah perjanjian baku, seyogyanya pihak kreditur tidak hanya
mencari keuntungan saja, tetapi juga harus memperhatikan keberadaan debitur
dan juga harus ikut bertanggung jawab atas tindakan juru tagih yang bertentangan
dengan hukum, dan ketiga pihak debitur hendaknya dapat menunjukkan rasa
tanggung jawab atas hutang yang diperoleh dari kreditur karena benda jaminan
masih berada ditangannya untuk dipakai dan dinikmati selama hak kepemilikan
belum berpindah kepada debitur..
Collections
- MT-Management [539]