dc.description.abstract | Permasalahan dalam tesis ini berawal dari terjadinya pemutusan kontrak konstruksi pengadaan barang dan jasa pemerintah secara sepihak yang dilakukan oleh pejabat pembuat komitmen (PPK) terhadap penyedia. Pada dasarnya pemutusan kontrak terjadi apabila penyedia dinilai tidak mampu menyelesaikan pekerjaan yang ditetapkan dalam kontrak, akan tetapi PPK dapat memberikan kesempatan kepada penyedia untuk menyelesaikan pekerjaannya. Hal tersebut telah diatur dalam pasal 56 Perpres Nomor 16 tahun 2018 tentang pengadaan barang dan jasa, dan diperjelas dalam angka 7.18.1 Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Nomor 12 tahun 2021 tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang dan jasa melalui penyedia. Akan tetapi terkait dengan kontrak yang dibuat harus patuh dengan peraturan yang ada dalam hukum privat, yang mana dalam aturan hukum privat atau hukum perdata pemutusan kontrak secara sepihak tidak boleh dilakukan sebagaimana ketentuan yang disebutkan Pasal 1338 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dari latar belakang tersebut ditetapkan 3 rumusan masalah: (1) Apa Konsekuensi hukum atas pemutusan kontrak secara sepihak dalam kontrak konstruksi pengadaan barang dan jasa pemerintah?, (2) Apakah bentuk perlindungan hukum bagi pemenang tender dalam kontrak konstruksi pengadaan barang dan jasa pemerintah yang diputus secara sepihak?, (3) Bagaimana konsep kedepan agar kontrak konstruksi pengadaan barang dan jasa pemerintah memberikan perlindungan hukum bagi pemenang tender?.
Jenis penelitian hukum yang dilakukan adalah normatif yang mana penelitian tersebut fokus mengkaji penerapan kaidah/norma dalam hukum positif, hukum yang terkait dengan pemutusan kontrak secara sepihak dalam kontrak konstruksi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan Perundang-undangan, pendekatan konseptual, dan pendekatan kasus.
Hasil penelitian bahwa (1) Apabila suatu kontrak diputus secara sepihak dikarenakan pihak lainnya telah melakukan wanprestasi, maka akan berlaku beberapa konsekuensi hukum sebagai berikut: timbulnya kewajiban untuk melakukan restorasi, berlakunya ex nunc, dan Pembatasan hak untuk mendapat ganti rugi. (2) perlindungan hukum terhadap penyedia terkait dengan peraturan mengenai penambahan waktu, yang mana dalam hal pengaturan tersebut harus jelas aturan presentase terkait dengan progress pekerjaan yang dilakukan oleh penyedia sehingga PPK tidak sewenang-wenang memberikan penambahan waktu pekerjaan pada penyedia. (3) Berdasarkan Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Nomor 12 Tahun 2021 Penelitian PPK menjadi dasar pemberian kesempatan, dalam hal PPK menilai penyedia tidak akan mampu menyelesaikan maka PPK dapat memutus kontrak dan meminta Pokja Pemilihan untuk menunjuk pemenang cadangan atau penyedia lain yang dinilai mampu. Namun perlu diketahui bahwa penyedia baru, perlu menjalankan proses pembelajaran dari hasil pekerjaan yang telah dilakukan oleh penyedia sebelumnya serta mengkaji kondisi lapangan pekerjaan. Hal ini tentu akan menghabiskan waktu lebih banyak jika dibandingkan dengan memberikan kesempatan yang wajar kepada penyedia yang telah berkontribusi sebelumnya. Dengan catatan, bahwa penyedia yang telah ada sebelumnya tetap memiliki itikad baik meski penyelesaian terlambat, oleh sebab itu, penelitian yang menjadi dasar PPK memberikan kesempatan harus secara tegas dinaungi oleh peraturan agar tidak ada perselisihan dan menimbulkan kerugian yang besar kepada salah satu pihak.
Rekomendasi penelitian tesis ini sebagai berikut: Pertama, konsekuensi hukum dalam kontrak konstruksi pengadaan barang dan jasa pemerintah atas terjadinya pemutusan kontrak secara sepihak perlu adanya penerapan asas proporsionalitas karena penetapan sanksi dalam kontrak konstruksi masih bersifat sepihak. Sanksi tersebut hanya dibebankan kepada penyedia jasa, sanksi yang dijatuhkan kepada penyedia jasa tersebut berupa komulatif, yaitu berupa pencairan uang jaminan (uang muka, uang jaminan pelaksanaan) serta dimasukannya penyedia jasa dalam daftar hitam (black list). Sedangkan penetapan sanksi kepada pengguna jasa apabila PPK melaksanakan suatu kesalahan/kelalaian tidak diatur secara jelas baik dalam kontrak maupun ketentuan peraturan perundang-undangan. Kedua, perlu dibentuknya undang-undang yang khusus sebagai bentuk perlidungan hukum untuk mengatur tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah yang menegaskan pembagian kewenangan dan proses penanganan pelanggaraan dalam penyelenggaraan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, baik secara perdata, hukum administrasi dan hukum pidana, perlunya keseriusan para pihak terkait nota kesepahaman (kepolisian, kejaksaan dan BPKP) dalam melaksanakan isi nota kesepaham yang mereka sepakati bersama yang dirasakan sampai ke tingkat kabupaten/kota. Tiga, Hendaknya pemerintah membuat aturan yang tegas untuk memperbolehkan adanya pendapat/ keberatan penyedia atas pemberian waktu kesempatan oleh PPK dari hasil penelitian atau kajiannya agar tidak ada perselisihan serta menimbulkan kerugian yang besar kepada salah satu pihak kedepannya. | en_US |