Show simple item record

dc.contributor.authorWARDANI, Adellisa
dc.date.accessioned2024-02-29T03:54:51Z
dc.date.available2024-02-29T03:54:51Z
dc.date.issued2024-01-29
dc.identifier.nim180910302050en_US
dc.identifier.urihttps://repository.unej.ac.id/xmlui/handle/123456789/120030
dc.description.abstractDesa Krompol sebagai setting empiris penelitian ini merupakan salah satu dari total sepuluh desa yang terletak di Kecamatan Bringin, Kabupaten Ngawi. Sama seperti desa lain yang terus mengalami perubahan seiring berkembangnya masyarakat, Desa Krompol menunjukkan adanya perubahan karakter sosial warganya yang semula bercorak agraris berubah menjadi semi urban ditandai dengan semakin bervariasinya pekerjaan warga di sektor lain dan tidak lagi berpaku pada sektor pertanian. Adanya perubahan struktur pekerjaan warga menjadikan adanya perubahan pada konsep waktu dalam berinteraksi oleh sesama warga desa. Kondisi-kondisi ini kemudian berpengaruh terhadap perubahan karakter sosial warganya yaitu munculnya sikap individualis terutama di antara generasi muda. Di tengah perubahan-perubahan yang terjadi pada desa tersebut terdapat tradisi rewang yang dilaksanakan dalam penyelenggaraan ritus pernikahan oleh warga desa yang kemudian mampu mengikat relasi antar individu warga desa. Dalam penyelenggaraan ritus pernikahan, tidak terlepas dari tradisi rewang sebab melalui tradisi tersebutlah segala keperluan yang dibutuhkan guna terselenggaranya ritus dipenuhi. Tradisi rewang sebagai tradisi saling memberikan bantuan baik dalam bentuk tenaga maupun materi, dilaksanakan secara total dengan melibatkan seluruh anggota keluarga. Selain itu, karena pentingnya rewang dalam penyelenggaraan ritus pernikahan sehingga terbentuk paguyuban rewang yang disebut dengan istilah sinoman yang secara khusus dihadirkan dalam dua ritus besar yaitu salah satunya pernikahan. Paguyuban sinoman memiliki dua kepengurusan terpisah yaitu sinoman laki-laki dan sinoman perempuan. Dalam melaksanakan tugasnya, sinoman laki-laki dan sinoman perempuan secara bersamaan saling bekerja sama dalam memenuhi segala keperluan penyelenggaraan ritus. Selain paguyuban sinoman, terdapat beberapa orang yang dihadirkan secara khusus oleh pemilik hajat untuk melaksanakan tugas-tugas utama ritus, antara lain tukang masak, tukang adhang, tukang isah-isah, tukang pracik, tukang wedang, tungkang es, tukang berkatan, dan tukang berasan. Jauh hari sebelum penyelenggaraan ritus, pemilik hajat mendatangi rumah orang-orang yang diminta untuk hadir dalam rewang dengan kegiatan yang disebut dengan marah-marah dan calang. Dalam pelaksanaan tradisi rewang terdapat pemberian-pemberian yang tidak hanya dilakukan oleh orang-orang yang hadir rewang, melainkan juga oleh pemilik hajat. Melalui pemberian-pemberian tersebut kemudian muncul tiga istilah penting yaitu “gak enek sing gratis, gak mentolo, dan genti genten”. Istilah gak enek sing gratis muncul sebagai cara dari warga desa untuk menentukan posisi sosial orang yang membantu yaitu perewang dan orang yan dibantu yaitu pemilik hajat, dengan kata lain sebagai sistem sosial yang kemudian mengatur berjalannya rewang. Istilah gak enek sing gratis apabila diterjemahkan secara ekonomi memiliki konsekuensi harus dibayar dengan uang, namun berbeda dalam pelaksaan rewang seseorang tidak diukur melalui jam kerja melainkan melaui bagaimana seseorang berkontribusi pada ritus pernikahan. Istilah gak enek sing gratis, gak mentolo, dan genti-genten, ketiganya merupakan istilah yang diterjemahkan secara budaya dan merupakan nilai ekonomi kultural yang dihasilkan dari pelaksanaan rewang. Dalam konteks ini peneliti melihat nilai ekonomi kultural yang terdapat dalam tradisi rewang tersebut sebagai produksi kultur yang dihasilkan dari pelaksanaan rewang dalam ritus pernikahan. Orang-orang yang hadir dalam rewang sebagai pelaku atau agen saling berinteraksi dan menghasilkan nilai-nilai kultur yang menjadikan rewang tetap bertahan dan mampu menjadi pengikat relasi antar individu warga desa. Para perewang sebagai bagian dari desa yang mana desa merupakan ruang tempat terjadinya reproduksi sosial. Dalam hal ini tradisi rewang menjadi bagian dari reproduksi sosial yang menghasilkan produksi kultural berupa nilai-nilai kultur yang kemudian mampu mengikat relasi antar individu warga desa.en_US
dc.description.sponsorshipHery Prasetyo, S.Sos., M.Sosio.en_US
dc.language.isootheren_US
dc.publisherFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politiken_US
dc.subjectREPRODUKSI SOSIALen_US
dc.subjectTRADISI REWANGen_US
dc.titleReproduksi Sosial dalam Tradisi Rewang di Desa Krompol Kabupaten Ngawien_US
dc.title.alternativeSocial Reproduction in the Rewang Tradition in Krompol Village Ngawi Regencyen_US
dc.typeSkripsien_US
dc.identifier.prodiSosiologien_US
dc.identifier.pembimbing1Hery Prasetyo, S.Sos., M.Sosio.en_US
dc.identifier.pembimbing2Lukman Wijaya Baratha, S.Sos., M.A.en_US
dc.identifier.validatorTeddyen_US
dc.identifier.finalizationTeddyen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record