dc.description.abstract | Indonesia dihadapkan dengan berbagai kasus tindak pidana, salah satunya
ialah kasus perkosaan yang terjadi pada Anak. Berdasarkan catatan Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), terhitung 25 kasus kekerasan seksual
menimpa anak, kemudian meningkat pada tahun 2017 sebanyak 81 kasus, hingga
pada tahun 2018 kembali meningkat mencapai 206 kasus. Dampak dari perkosaan
a quo tidak hanya menimbulkan trauma psikis, melainkan dapat berdampak pada
fisik dan seksual anak, yakni dengan timbulnya kehamilan. Tidak sedikit yang
kemudian menggunakan berbagai macam cara untuk mengaborsi Kandungan
Tidak Dihendaki (KTD) yang merupakan tindak pidana itu sendiri. Persoalan
mengenai aborsi kepada anak korban perkosaan, ialah belum adanya penegasan
secara eksplisit mengenai pengaturan perlindungan hukum bagi anak korban
perkosaan dan pelaku tindak pidana aborsi. Sehingga, dalam penelitian ini peneliti
tertarik untuk menganlisis persoalan a quo, yakni: (1) Apakah anak korban
tindak pidana perkosaan telah memperoleh perlindungan?. (2) Apakah peraturan
perundangan yang memberikan perlindungan anak telah diterapkan terhadap anak
korban tindak pidana perkosaan yang melakukan aborsi??. (3) Bagaimana bentuk
perlindungan terhadap anak korban tindak pidana perkosaan yang melakukan
tindakan aborsi di masa mendatang?.
Penelitian dalam tesis ini merupakan jenis studi hukum normatif, yaitu,
penelitian yang bertujuan menguji penerapan norma atau norma dalam hukum
positif. Jenis penelitian peraturan ini dilakukan dengan menganalisis berbagai
norma hukum formal seperti hukum, peraturan, hukum kasus, dan literatur, yang
memberikan konsep teoretis yang relevan dengan masalah yang dibahas dalam
tesis. Dengan menggunakan pendekatan konseptual, peraturan perundangundangan, pendekatan komparasi, pendekatan medikolegal melalui bahan primer
dan sekunder dilakukan telaah berdasarkan teori kepastian hukum, perlindungan,
dan kebijakan hukum pidana.
Hasil yang dicapai dalam tesis ini ialah aturan perlindungan hukum
terhadap anak korban tindak pidana perkosaan yang melakukan aborsi termaktub
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Adapun tindakan
aborsi sendiri merupakan tindak pidana sesuai Pasal 75 ayat (1) UU No 36 Tahun
2009. Pengecualiannya dijelaskan dalam Pasal 75 ayat (2) UU No 36 Tahun 2009,
yang diberikan hanya dalam 2 (dua) kondisi berikut: Pertama, indikasi
kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang
mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat
dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan
bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau. Kedua, kehamilan akibat perkosaan
yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. Mengenai
penerapan peraturan perlindungan hukum bagi anak sebagai korban perkosaan
dan pelaku tindakan aborsi, masih ditemukan bahwa terdapat beberapa
kekosongan hukum, utamanya dalam hal penegasan posisi dan perlindungan anak
korban perkosaan dan pelaku aborsi di Indonesia. Masih terdapatnya beberapa
peraturan yang kontradiktif dan berdampak pada penerapan yang kurang
maksimal seperti halnya aturan KUHP mengenai korban perkosaan dan aturan
aborsi dalam UU Kesehatan. Sehingga hal tersebut menjadi catatan penting
terhadap peraturan mengenai perlindungan anak korban perkosaan dan pelaku
aborsi di masa mendatang. Berdasarkan teori kebijakan hukum pidana diperlukan
adanya pembaharuan dan harmonisasi peraturan. Formulasi kebijakan mengenai
legalisasi aborsi bagi korban perkosaan khsususnya anak harus memperhatikan
berbagai perspektif HAM dalam kajian a quo. Kebijakan mengenai batas waktu
untuk melakukan aborsi patut dikaji kembali dengan mempertimbangkan berbagai
hal, baik dari proses penyelesaian perkara, kesehatan, serta aspek hukum. Hal
tersebut demi mewujudkan kebijakan legalisasi aborsi bagi anak sebagai korban
perkosaan di masa mendatang dapat memberikan keadilan, kepastian hukum, dan
perlindungan hukum bagi anak sebagai korban perkosaan yang melakukan
tindakan aborsi.
Saran dari peneliti mengenai pengaturan perlindungan hukum anak
sebagai korban perkosaan dan pelaku tindak aborsi, ialah perlu adanya perhatian
dari pemangku kebijakan untuk melakukan formulasi dan harmonisasi peraturan
perundang-undangan yang mengacu kepada HAM dan kepentingan anak. Selain
itu, diperlukan pula adanya peran dari penegak hukum dalam proses implementasi
pengaturan hukum terhadap anak korban perkosaan dan pelaku tindak aborsi
dengan mempertimbangkan hak-hak dan kepentingan terbaik bagi anak dengan
melihat fakta empiris serta bekerja sama dengan lembaga-lembaga yang memiliki
konsentrasi terhadap perlindungan dan pemerhati anak. | en_US |