Show simple item record

dc.contributor.authorKARTIKA HIJRIANI
dc.date.accessioned2013-12-20T01:25:32Z
dc.date.available2013-12-20T01:25:32Z
dc.date.issued2013-12-20
dc.identifier.nimNIM040110301096
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/10859
dc.description.abstractIndonesia menganeksasi Timor Timur pada 1975-1976 melalui operasi militer dengan kode sandi Operasi Seroja dan menetapkannya sebagai propinsi ke-27. Hal ini dikecam oleh Dewan Keamanan PBB yang menyerukan agar Indonesia segera meninggalkan Timor Timur. Dewan Keamanan PBB juga menyerukan agar masyarakat Timor Timur diberi kesempatan untuk melakukan penentuan pendapat. Namun hal ini tidak digubris oleh pemerintah Indonesia. Operasi militer terus dilancarkan oleh militer Indonesia di daerah-daerah pedalaman Timor Timur, guna mematahkan perlawanan gerilya yang dilakukan oleh Fretilin. Operasi militer ini selain menimbulkan korban jiwa sekitar 60.000 orang juga menimbulkan kerusakan lahan pertanian masyarakat Timor Timur. Akibatnya rakyat tidak dapat menggarap ladang mereka sehingga menimbulkan krisis pangan di Timor Timur. Tak hanya operasi militer, pihak Indonesia juga melakukan eksploitasi terhadap perkebunan-perkebunan di Timor Timur seperti kopi dan kayu cendana, khususnya oleh keluarga serta kerabat dekat Presiden Soeharto. Sehingga penghasilan terbesar tentunya diterima oleh mereka. Sementara warga hanya menjadi pekerja perkebunan dengan penghasilan yang sangat minim. Setelah kehilangan sanak saudara akibat berbagai operasi militer yang dilakukan oleh militer Indonesia dalam upaya untuk mematahkan perlawanan Fretilin, mereka harus kembali dirugikan dalam berbagai eksploitasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Hal ini tentunya menimbulkan kekecewaan bagi masyarakat Timor Timur. Akibatnya semakin banyak masyarakat Timor Timur yang mendukung perjuangan Fretilin untuk memerdekakan Timor Leste, agar mereka dapat mengelola perkebunan mereka sendiri. Menanggapi kondisi politik yang terus memanas, PBB kembali menyerukan agar Indonesia memberi kesempatan pada masyarakat Timor Timur untuk menetukan nasibnya sendiri. Operasi militer Indonesia tidak mampu menggoyahkan perjuangan Fretilin untuk memperoleh kemerdekaan Timor Leste. Mereka berupaya untuk menyerang pertahanan-pertahanan militer Indonesia. Selain itu, mereka juga vii mengirimkan utusannya, Jose Ramos Horta untuk melakukan perjuangan diplomasi ke berbagai negara guna mencari dukungan atas perjuangan Fretilin di Timor Timur. Kegigihannya memperjuangkan kemerdekaan Timor Timur mendapat perhatian khusus dari masyarakat internasional. Pada 10 Desember 1996, Jose Ramos Horta dan Uskup Belo, pemimpin Gereja Katolik di Timor Timur menerima penghargaan Nobel Perdamaian di Oslo, Norwegia. Perwakilan Indonesia bisa menerima jika penghargaan tersebut diberikan kepada Uskup Belo yang telah banyak berperan dalam upaya perdamaian di Timor Timur. Namun tidak demikian dengan Jose Ramos Horta yang dalam pandangan Indonesia lebih banyak menjadi penyulut timbulnya kekerasan pemuda Timor Timur sehingga perwakilan Indonesia di Norwegia menolak menghadiri acara tersebut. Anugerah Nobel Perdamaian ini memberikan semangat baru kepada Fretilin untuk terus berjuang melawan pendudukan Indonesia di Timor Timur. Pada 9 Juni 1998, Presiden Habibie mengumumkan bahwa Indonesia akan menawarkan “status khusus” kepada Timor Timur, suatu bentuk otonomi. Namun hal ini tidak diterima oleh sebagian besar masyarakat Pro-kemerdekaan. Karena hal ini hanya akan memperpanjang masa pendudukan Indonesia di Timor Timur. Oleh karena itu, pada 27 Januari 1999, Indonesia memutuskan untuk lepas tangan atau memberikan kemerdekaan kepada Timor Timur jika rakyat Timor Timur menolak opsi pertama yaitu tawaran otonomi khusus yang sangat diperluas. Pada 5 Mei 1999, Indonesia dan Portugal menandatangani kesepakatan yang memberikan kesempatan bagi masyarakat Timor Timur untuk melaksanakan penentuan nasib sendiri atau jajak pendapat yang akan diselenggarakan oleh PBB. Jajak pendapat kemudian dilaksanakan pada 30 Agustus 1999. Hasilnya, sejumlah 344.580 suara (78,5%) memilih merdeka, dan sejumlah 94.388 suara (21,5%) memilih otonomi. Pada tanggal 20 Mei 2002 Timor Leste memproklamasikan kemerdekaannya setelah hampir 24 tahun berada dibawah kekuasaan Indonesia.en_US
dc.language.isootheren_US
dc.relation.ispartofseries040110301096;
dc.subjectKEMERDEKAAN TIMOR LESTEen_US
dc.titleKEMERDEKAAN TIMOR LESTE TAHUN 1999en_US
dc.typeOtheren_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record