dc.description.abstract | Indonesia menganeksasi Timor Timur pada 1975-1976 melalui operasi
militer dengan kode sandi Operasi Seroja dan menetapkannya sebagai propinsi
ke-27. Hal ini dikecam oleh Dewan Keamanan PBB yang menyerukan agar
Indonesia segera meninggalkan Timor Timur. Dewan Keamanan PBB juga
menyerukan agar masyarakat Timor Timur diberi kesempatan untuk melakukan
penentuan pendapat. Namun hal ini tidak digubris oleh pemerintah Indonesia.
Operasi militer terus dilancarkan oleh militer Indonesia di daerah-daerah
pedalaman Timor Timur, guna mematahkan perlawanan gerilya yang
dilakukan oleh Fretilin. Operasi militer ini selain menimbulkan korban jiwa
sekitar 60.000 orang juga menimbulkan kerusakan lahan pertanian masyarakat
Timor Timur. Akibatnya rakyat tidak dapat menggarap ladang mereka sehingga
menimbulkan krisis pangan di Timor Timur. Tak hanya operasi militer, pihak
Indonesia juga melakukan eksploitasi terhadap perkebunan-perkebunan di
Timor Timur seperti kopi dan kayu cendana, khususnya oleh keluarga serta
kerabat dekat Presiden Soeharto. Sehingga penghasilan terbesar tentunya
diterima oleh mereka. Sementara warga hanya menjadi pekerja perkebunan
dengan penghasilan yang sangat minim. Setelah kehilangan sanak saudara
akibat berbagai operasi militer yang dilakukan oleh militer Indonesia dalam
upaya untuk mematahkan perlawanan Fretilin, mereka harus kembali dirugikan
dalam berbagai eksploitasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Hal ini
tentunya menimbulkan kekecewaan bagi masyarakat Timor Timur. Akibatnya
semakin banyak masyarakat Timor Timur yang mendukung perjuangan Fretilin
untuk memerdekakan Timor Leste, agar mereka dapat mengelola perkebunan
mereka sendiri. Menanggapi kondisi politik yang terus memanas, PBB kembali
menyerukan agar Indonesia memberi kesempatan pada masyarakat Timor
Timur untuk menetukan nasibnya sendiri.
Operasi militer Indonesia tidak mampu menggoyahkan perjuangan
Fretilin untuk memperoleh kemerdekaan Timor Leste. Mereka berupaya untuk
menyerang pertahanan-pertahanan militer Indonesia. Selain itu, mereka juga
vii
mengirimkan utusannya, Jose Ramos Horta untuk melakukan perjuangan
diplomasi ke berbagai negara guna mencari dukungan atas perjuangan Fretilin
di Timor Timur. Kegigihannya memperjuangkan kemerdekaan Timor Timur
mendapat perhatian khusus dari masyarakat internasional. Pada 10 Desember
1996, Jose Ramos Horta dan Uskup Belo, pemimpin Gereja Katolik di Timor
Timur menerima penghargaan Nobel Perdamaian di Oslo, Norwegia.
Perwakilan Indonesia bisa menerima jika penghargaan tersebut diberikan
kepada Uskup Belo yang telah banyak berperan dalam upaya perdamaian di
Timor Timur. Namun tidak demikian dengan Jose Ramos Horta yang dalam
pandangan Indonesia lebih banyak menjadi penyulut timbulnya kekerasan
pemuda Timor Timur sehingga perwakilan Indonesia di Norwegia menolak
menghadiri acara tersebut. Anugerah Nobel Perdamaian ini memberikan
semangat baru kepada Fretilin untuk terus berjuang melawan pendudukan
Indonesia di Timor Timur.
Pada 9 Juni 1998, Presiden Habibie mengumumkan bahwa Indonesia
akan menawarkan “status khusus” kepada Timor Timur, suatu bentuk otonomi.
Namun hal ini tidak diterima oleh sebagian besar masyarakat Pro-kemerdekaan.
Karena hal ini hanya akan memperpanjang masa pendudukan Indonesia di
Timor Timur. Oleh karena itu, pada 27 Januari 1999, Indonesia memutuskan
untuk lepas tangan atau memberikan kemerdekaan kepada Timor Timur jika
rakyat Timor Timur menolak opsi pertama yaitu tawaran otonomi khusus yang
sangat diperluas. Pada 5 Mei 1999, Indonesia dan Portugal menandatangani
kesepakatan yang memberikan kesempatan bagi masyarakat Timor Timur
untuk melaksanakan penentuan nasib sendiri atau jajak pendapat yang akan
diselenggarakan oleh PBB. Jajak pendapat kemudian dilaksanakan pada 30
Agustus 1999. Hasilnya, sejumlah 344.580 suara (78,5%) memilih merdeka,
dan sejumlah 94.388 suara (21,5%) memilih otonomi. Pada tanggal 20 Mei
2002 Timor Leste memproklamasikan kemerdekaannya setelah hampir 24
tahun berada dibawah kekuasaan Indonesia. | en_US |