dc.description.abstract | Komplikasi yang terjadi pasca pencabutan salah satunya yaitu trauma pada tulang
alveolar, pada proses pencabutan gigi dilakukan jaringan lunak dan jaringan keras akan
mengalami trauma, akan tetapi dapat pulih secara alami namum cacat tulang alveolar
akan pulih hanya sebagian sehingga terjadi resorbsi alveolar ridge. Pasca pencabutan
tulang alveolar cenderung menyempit dan kehilangan bentuk aslinya rata-rata lebar 3,8
mm, dan tinggi 1,24 mm mengakibatkan penurunan volume tulang 30 – 60 % dalam
waktu enam bulan. Resorbsi tulang alveolar dapat ditangani dengan Socket
preservation, dengan mekanisme pencegahan resorbsi tulang dengan memasukkan
bahan bone graft ke dalam soket gigi setelah proses pencabutan gigi. (Rahmawati.
D, 2020)
Bone graft atau cangkok tulang merupakan salah satu cara yang umum digunakan
untuk mengembalikan fungsi dari suatu jaringan tulang yang hilang atau telah
mengalami kerusakan. Bone graft atau cangkok tulang dapat dikatakan metode yang
saat ini masih bisa diharapkan untuk terapi tulang (Poernomo, H. 2019). Bone graft atau
Cangkok tulang mempunyai beberapa jenis teknik diantaranya autograft, allograft,
xenograft, dan alloplast. Pengganti tulang atau bone graft sintetis yang berasal dari
hidroksiapatit mempunyai rumus kimia [Ca10(PO4)6(OH)2]. Susunan kristal
hidroksiapatit yang memiliki gambaran identik dengan tulang dan gigi pada manusia
membuat hidroksiapatit sangat populer dikembangkan sebagai material pengganti
tulang (Ardhiyanto, H. B, 2016). Hidroksiapatit yang digunakan sebagai Scaffold karena
memiliki kesamaan kimia dan fisika dengan kandungan mineral penyusun tulang yaitu
apatit.
Scaffold dari hidroksiapatit bahan alam memiliki kemampuan yang sama seperti
material komersial yang ada di pasaran. Salah satunya yaitu gipsum alam yang banyak
di temukan di gunung gamping Puger, kabupaten Jember Jawa timur. Bahan alternatif
Scaffold hidroksiapatit bahan Gipsum puger (HAGP) pada penelitian (Naini dan Rachmawati 2010). didapati bahwa kandungan kalsium lebih tinggi dan sulfurnya yang
rendah dibandingkan gipsum komersial. Penelitian lebih lanjut oleh Naini (2014)
gipsum alam Puger berhasil disintesis menjadi hidroksiapatit yang dikenal dengan
Hidroksiapatit Gipsum Puger (HAGP) dan karakterisasi uji XRD serta FTIR HAGP
menunjukkan pola kemiripan dengan HA Jepang 200 sebagai standar pembanding,
Namun Hidroksiapatit masih mempunyai kelemahan yaitu sifat biomekanik memiliki
kelemahan sifat biomekaniknya yang lemah yaitu kuat tekan yang rendah, brittle, dan
porositasnya yang rendah. Oleh karena itu, saat ini hidroksiapatit banyak
dikombinasikan dengan bahan biopolimer. Bahan biopolimer salah satunya pati
singkong, kandungan amiosa dan amilopektin dalam pati singkong dapat digunakan
untuk memperbaiki sifat brithel dari hidroksiapatiti gipsum puger, dengan mekanisme
interlocking O-H dengan Ca+ melalui ikatan hidrogen. Penelitian ini berfokus pada Uji
Tekan (Compressive Strength) Scaffold Hidroksiapatit Gipsum Puger-Pati Singkong
(Manihot Esculenta Starch) Sebagai Bahan Bonegraft.
Jenis penelitian ini adalah eksperimental laboratoris dengan rancangan penelitian
post test only group design. Penelitian ini menggunakan 3 kelompok rasio perbandingan
Scaffold HAGP dan pati singkong (%w/w) (100:0), (70:30), (50:50). Penelitian ini
terdiri dari empat tahapan yaitu : Proses sintesi Hidroksiapatit Gipsum Puger,
Pembuatan Pati singkong (Manihot Esculenta Starch), pembuatan Scaffold HAGP dan
pati singkong(Manihot Esculenta Starch), dan Uji kekuatan tekan (compressive
Strenght).
Data penelitian yang didapat dilakukan analisis data, diawali uji normalitas
selanjutnya homogenitas. Didapatkan hasil data terdistribusi normal dan homogen,
kemudian dilakukan analisis data untuk mengetahui perbedaan siginfikan menggunakan
uji One way Anova, didapatkan hasil (p) < 0,05 yaitu 0,000 artinya terdapat perbedaan
signifikan antar kelompok sampel. Selanjutnya uji LSD ( Least Significance Different
) didapatkan hasil (p) < 0,05 pada semua kelompok sampel sehingga memperkuat bahwa
terdapat perbedaan signifikan di semua kelompok sampel.
Berdasarkan hasil uji kekuatan tekan Scaffold HAGP-pati singkong kelompok
rasio perbandingan (50:50) didapatkan hasil sebesar 2,07 Mpa dan menjadi kekuatan tekan tertinggi, sedangkan kuat tekan Scaffold HAGP-pati singkong kelompok rasio
perbandingan (70:30) didapatkan hasil sebesar 1,78 Mpa, dan kelompok tekan Scaffold
HAGP-pati singkong kelompok rasio perbandingan (100:0) menjadi yang terendah
sebesar 0,78 Mpa. Scaffold HAGP-pati singkong kelompok rasio perbandingan (50:50)
menjadi yang tertinggi disebabkan jumlah pati singkong sebagai perekat lebih banyak
sehingga ikatan antara gugus amilosa dan amilopektin pada Scaffold semakin banyak
berikatan, sehingga didapatkan kekuatan tekan yang lebih baik. | en_US |