Show simple item record

dc.contributor.authorAFANDI, Alisha Humairoh
dc.date.accessioned2022-06-28T02:11:36Z
dc.date.available2022-06-28T02:11:36Z
dc.date.issued2021-02-04
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/xmlui/handle/123456789/107928
dc.description.abstractBeribadah merupakan suatu kewajiban dalam agama. Dimana kita hidup dengan memiliki keyakinan jika semua hal yang ada di sekitar kita adalah pemberian dari sang Maha Pencipta dan kita membalasnya dengan berterima kasih kepada-Nya, yakni dengan beribadah. Karena itulah, kegiatan ini tidak memandang status, gender, ataupun strata dalam masyarakat. Semua memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk beribadah. Namun di negara Jepang sendiri, kegiatan beribadah yang seharusnya bisa dilakukan dengan bebas oleh kepala negara justru memicu masalah dengan negara lain hingga mengganggu kepentingan politik negara tersebut. Pemicu masalah ini berasal dari salah satu tempat beribadah agama Shinto di Jepang, yakni Kuil Yasukuni. Kuil ini merupakan tempat yang dibangun untuk mengenang warga negara Jepang yang meninggal dunia untuk Kekaisaran Jepang semasa Restorasi Meiji yang berjumlah 2.466.532 pria, wanita, dan anak-anak, mulai dari Perang Boshin 1867 hingga Perang Dunia II. Hal ini mengakibatkan negara China dan Korea selalu menuduh bahwa kuil tersebut merupakan lambang kejahatan perang Jepang dan lambang dari sikap agresor Jepang selama Perang Dunia II, hingga akhirnya menjadi faktor yang mengakibatkan kuil Yasukuni menjadi suatu isu yang sensitif. Bahkan dapat menjadi bumerang bagi negaranya jika pemerintah Jepang mengambil langkah yang salah dalam menyikapinya. Perdana Menteri Jepang tidak diperbolehkan mengunjungi Kuil Yasukuni karena bagi negara China dan Korea, tindakan ibadah itu dianggap sebagai tindakan menghormati dan membenarkan tindak kejahatan yang telah dilakukan Jepang semasa Perang Dunia II. Karena itulah, kuil Yasukuni ini dapat menjadi isu yang menghambat kepentingan politik luar negeri Jepang untuk dapat bergabung dalam keanggotaan tetap di Dewan Keamanan PBB. Karenanya, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar keberadaan kuil Yasukuni ini dapat digunakan sebagai penghambat usaha Jepang untuk dapat bergabung sebagai anggota tetap dalam Dewan Keamanan PBB. Penelitian ini menerapkan metode kualitatif dengan menggunakan data sekunder. Proses pengumpulan data tanpa melakukan interaksi langsung dengan pihak berkait namun memanfaatkan dokumen-dokumen berupa: hasil analisa penelitian terdahulu, laporan, mass media, lembaran negara, dan berbagai sumber dari internet. Penelusuran data selalu difokuskan pada pada kondisi dan isu kuil Yasukuni yang tumbuh di Jepang setelah Jepang menawarkan diri sebagai anggota tetap dalam Dewan Keaamanan PBB. Penulis akan membahas tentang Kuil Yasukuni, Dewan Keamanan PBB, apa yang menyebabkan Kuil Yasukuni menjadi isu yang diangkat oleh negara sekutu Jepang hingga dapat mempengaruhi upaya Jepang dalam bergabung dengan Dewan Keamanan PBB serta bagaimana respon Jepang dalam menyelesaikannya dalam rentang waktu dari tahun 2005 hingga tahun 2010. Data yang diperoleh dianalisis melalui beberapa tahapan: pemahaman, penyortiran, pengklasifikasian, penataan berdasarkan urutan waktu, pemberian penjelasan, dan menarik temuan. Data berupa upaya Jepang dalam bergabung dengan keanggotaan tetap Dewan Keamanan PBB tersebut dianalis dan dikaitkan dengan Teori The Politics of History oleh Howard Zinn (1963), Teori Interaksi Simbolik oleh George Herbert Mead (1934), dan konsep Historical Consciousness in Political Action oleh Theodore Schieder (2013) agar menghasilkan kesimpulan yang tepat. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa dampak yang ditimbulkan dari isu Yasukuni dalam usaha Jepang untuk bergabung dengan Dewan Keamanan PBB adalah 1. China dan Korea yang memprotes buku sejarah Jepang. 2. Politisi Jepang yang sempat mendatangi Kuil Yasukuni memberikan permintaan maaf atas tindakannya, namun mengalami konflik internal dalam negaranya yang menyangkal permintaan maaf tersebut hingga mengakibatkan Jepang terlihat tidak bersungguh-sungguh dalam meminta maaf. 3. Pemberian persembahan sebagai pengganti atas kunjungan Perdana Menteri Jepang ke Kuil Yasukuni agar tidak menyinggung negara yang menjadi korban kekejaman leluhur Jepang yang berada di Kuil Yasukuni. Dari kajian ini dapat disimpulkan bahwa Jepang sudah melakukan berbagai upaya yang relatif strategis dan tepat untuk mewujudkan keinginannya dalam bergabung sebagai anggota tetap dalam Dewan Keamanan PBB. Namun demikian Jepang harus bersikap realistis menghadapi kenyataan bahwa keinginannya tersebut akan sulit dicapai selama Jepang dalam memberikan permintaan maaf atas tindakan para pemimpinnya yang beribadah ke Kuil Yasukuni terbantahkan dengan konflik internal dari dalam pemerintahannya sendiri. Dimana akhirnya mengakibatkan isu ini dapat dipergunakan oleh China dan Korea Utara untuk menghambat upayanya dalam bergabung dalam keanggotaan tetap di Dewan Keamanan PBBen_US
dc.description.sponsorshipFuat Albayumi, SIP. M.A ; Dosen Pembimbing Agus Trihartono, S Sos, MA, Ph Den_US
dc.language.isootheren_US
dc.publisherFakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politiken_US
dc.subjectYasukunien_US
dc.subjectJepangen_US
dc.subjectPBBen_US
dc.titleISU Yasukuni Dalam Usaha Jepang Bergabung Dengan Dewan Keamanan Pbben_US
dc.title.alternativeYasukuni Issue on Japan Attempt to Join the Security Council Of United Nationen_US
dc.typeOtheren_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record