dc.description.abstract | Beribadah merupakan suatu kewajiban dalam agama. Dimana kita hidup
dengan memiliki keyakinan jika semua hal yang ada di sekitar kita adalah
pemberian dari sang Maha Pencipta dan kita membalasnya dengan berterima
kasih kepada-Nya, yakni dengan beribadah. Karena itulah, kegiatan ini tidak
memandang status, gender, ataupun strata dalam masyarakat. Semua memiliki hak
dan kewajiban yang sama untuk beribadah. Namun di negara Jepang sendiri,
kegiatan beribadah yang seharusnya bisa dilakukan dengan bebas oleh kepala
negara justru memicu masalah dengan negara lain hingga mengganggu
kepentingan politik negara tersebut. Pemicu masalah ini berasal dari salah satu
tempat beribadah agama Shinto di Jepang, yakni Kuil Yasukuni. Kuil ini
merupakan tempat yang dibangun untuk mengenang warga negara Jepang yang
meninggal dunia untuk Kekaisaran Jepang semasa Restorasi Meiji yang berjumlah
2.466.532 pria, wanita, dan anak-anak, mulai dari Perang Boshin 1867 hingga
Perang Dunia II. Hal ini mengakibatkan negara China dan Korea selalu menuduh
bahwa kuil tersebut merupakan lambang kejahatan perang Jepang dan lambang
dari sikap agresor Jepang selama Perang Dunia II, hingga akhirnya menjadi faktor
yang mengakibatkan kuil Yasukuni menjadi suatu isu yang sensitif. Bahkan dapat
menjadi bumerang bagi negaranya jika pemerintah Jepang mengambil langkah
yang salah dalam menyikapinya. Perdana Menteri Jepang tidak diperbolehkan
mengunjungi Kuil Yasukuni karena bagi negara China dan Korea, tindakan ibadah
itu dianggap sebagai tindakan menghormati dan membenarkan tindak kejahatan
yang telah dilakukan Jepang semasa Perang Dunia II. Karena itulah, kuil
Yasukuni ini dapat menjadi isu yang menghambat kepentingan politik luar negeri
Jepang untuk dapat bergabung dalam keanggotaan tetap di Dewan Keamanan
PBB. Karenanya, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar
keberadaan kuil Yasukuni ini dapat digunakan sebagai penghambat usaha Jepang
untuk dapat bergabung sebagai anggota tetap dalam Dewan Keamanan PBB.
Penelitian ini menerapkan metode kualitatif dengan menggunakan data
sekunder. Proses pengumpulan data tanpa melakukan interaksi langsung dengan
pihak berkait namun memanfaatkan dokumen-dokumen berupa: hasil analisa
penelitian terdahulu, laporan, mass media, lembaran negara, dan berbagai sumber
dari internet. Penelusuran data selalu difokuskan pada pada kondisi dan isu kuil
Yasukuni yang tumbuh di Jepang setelah Jepang menawarkan diri sebagai
anggota tetap dalam Dewan Keaamanan PBB. Penulis akan membahas tentang
Kuil Yasukuni, Dewan Keamanan PBB, apa yang menyebabkan Kuil Yasukuni
menjadi isu yang diangkat oleh negara sekutu Jepang hingga dapat mempengaruhi
upaya Jepang dalam bergabung dengan Dewan Keamanan PBB serta bagaimana
respon Jepang dalam menyelesaikannya dalam rentang waktu dari tahun 2005
hingga tahun 2010. Data yang diperoleh dianalisis melalui beberapa tahapan:
pemahaman, penyortiran, pengklasifikasian, penataan berdasarkan urutan waktu,
pemberian penjelasan, dan menarik temuan. Data berupa upaya Jepang dalam
bergabung dengan keanggotaan tetap Dewan Keamanan PBB tersebut dianalis dan
dikaitkan dengan Teori The Politics of History oleh Howard Zinn (1963), Teori
Interaksi Simbolik oleh George Herbert Mead (1934), dan konsep Historical
Consciousness in Political Action oleh Theodore Schieder (2013) agar
menghasilkan kesimpulan yang tepat.
Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa dampak yang ditimbulkan dari isu
Yasukuni dalam usaha Jepang untuk bergabung dengan Dewan Keamanan PBB
adalah 1. China dan Korea yang memprotes buku sejarah Jepang. 2. Politisi
Jepang yang sempat mendatangi Kuil Yasukuni memberikan permintaan maaf
atas tindakannya, namun mengalami konflik internal dalam negaranya yang
menyangkal permintaan maaf tersebut hingga mengakibatkan Jepang terlihat tidak
bersungguh-sungguh dalam meminta maaf. 3. Pemberian persembahan sebagai
pengganti atas kunjungan Perdana Menteri Jepang ke Kuil Yasukuni agar tidak
menyinggung negara yang menjadi korban kekejaman leluhur Jepang yang berada
di Kuil Yasukuni.
Dari kajian ini dapat disimpulkan bahwa Jepang sudah melakukan
berbagai upaya yang relatif strategis dan tepat untuk mewujudkan keinginannya
dalam bergabung sebagai anggota tetap dalam Dewan Keamanan PBB. Namun
demikian Jepang harus bersikap realistis menghadapi kenyataan bahwa
keinginannya tersebut akan sulit dicapai selama Jepang dalam memberikan
permintaan maaf atas tindakan para pemimpinnya yang beribadah ke Kuil
Yasukuni terbantahkan dengan konflik internal dari dalam pemerintahannya
sendiri. Dimana akhirnya mengakibatkan isu ini dapat dipergunakan oleh China
dan Korea Utara untuk menghambat upayanya dalam bergabung dalam
keanggotaan tetap di Dewan Keamanan PBB | en_US |