Pandangan Dunia Pengarang Pada Tokoh Bhre Wirabumi dalam Novel Menak Jinggo Sekar Kedaton Karya Langit Kresna Hariadi : Kajian Strukturalisme Genetik
Abstract
Langit Kresna Hariadi menulis tentang Menak Jinggo dengan memilih
salah satu versi dari berbagai macam sumber, dan dikemas sangat menarik bagi
penggemar karya sastra tertulis, tidak dengan menarik latar sejarah yang
diceritakan secara umum pada masyrakat, akan tetapi dengan menempatkan
peristiwa itu sebagai peristiwa novel. Bagi masyarakat Jawa yang terpengaruh
oleh kerajaan Majapahit dan Mataraman, Menak Jinggo merupakan sosok
pemberontak dan perongrong kedaulatan Majapahit. Ia digambarkan sebagai
sosok yang culas, serakah, dan tidak tahu diri. Secara fisik Menak
Jinggo di gambarkan sebagai orang yang berkepala anjing, perut buncit, dan
menggunakan klinthing (gelang berlonceng kecil di kaki). Semua penggambaran
tersebut merupakan penghinaan terhadap sosok Menak Jinggo.
Penulis menganalisis novel Menak Jinggo Sekar Kedaton menggunakan
beberapa kerangka teori yang akan digunakan untuk membedah karya tersebut,
agar nantinya maksud, makna, dan tujuan Langit Kresna Hariadi membuat novel
itu bisa diungkap dengan baik dan benar. Penulis menganalisis novel dengan
menggunakan teori Strukturalisme Genetik, yang nantinya akan muncul beberapa
konsep dari strukturalisme genetik seperti, fakta kemanusiaan, subjek kolektif,
pandangan dunia : homologi, strukturasi, dan struktur, struktur karya sastra, dan
dialektika pemahaman – penjelasan.
Pandangan dunia sendiri sangatlah dinamis ketika kita kaitkan dengan
permasalahan yang ada, ketika karya sastra tersebut dibuat, seperti menyangkut
ekonomi, politik, bahkan kekuasaan. Pandangan dunia pengarang adalah dunia
yang diciptakan oleh pengarang itu sendiri, dan ketika dibenturkan dengan situasi
tahun atau masa dimana struktur karya sastra tersebut dibentuk maka bisa dengan
mudah dianalisis ada kejadian apa di dalam karya tersebut, apakah pesan yang
disampaikan oleh pengarang tersirat, ataukah oleh pengarang diberi tanda-tanda
vii
khusus agar pembaca mengerti struktur karya sastra yang pengarang ciptakan.
Penelitian yang dilakukan di dalam novel Menak Jinggo Sekar Kedaton
karya Langit Kresna Hariadi, peneliti akan menggunakan metode penelitian yang
koheren dan bekesinambungan dengan teori strukturalisme-genetik yaitu dengan
menggunakan metode dialektik.Secara teoritis setiap fakta sastra dapat dianggap
sebagai tesis, kemudian diadakan negasi. Dengan adanya pengingkaran maka tesis
dan antitesis seolah-olah hilang atau berubah menjadi kualitas fakta yang lebih
tinggi, yaitu sintesis itu sendiri. Sintesis kemudian menjadi tesis kembali,
demikian seterusnya, sehingga proses pemahaman terjadi terus-menerus. Oleh
karena itulah, proses pemahamannya sama dengan hermeneutika, dalam bentuk
spiral, bukan garis lurus.
Capaian untuk memperoleh gelar raja menggantikan Hayam Wuruk
memuat banyak sekali medan semantis yang terbentuk dari oposisi-oposisi. Satu
sisi berhubungan dengan sisi di sebelahnya. Hadirnya bentuk tersebut tidak
bersifat statis melainkan dinamis sehingga dibaca sebagai sebuah pergerakan.
Hubungan itu menjadikan salah satu lebih dominan dari yang lain. Relasi itu
menjadi semacam bentuk yang saling berhubungan dan tidak berdiri sendiri.
Tematik yang ditemukan pada novel Menak Jinggo Sekar Kedaton adalah
kekuasaan, loyalitas dan penaklukan. Ketiga tematik tersebut menjadi struktur
penunjang isi novel dan di dalamnya memiliki muatan relasi.
Legitimasi kekuasaan politik pada novel Menak Jinggo menjadikan
kekuasaan diperebutkan lingkungan istana kerajaan untuk menyebar pengaruh
maupun menjaga. Struktur ruang novel ini terbangun dari banyak medan semantis,
di antaranya Wirabumi >< Wikramawardana, Hayam Wuruk >< Sri Gitarja, dan
Biniaji.>< Sri Sudewi. Secara etimologis, istilah “loyalitas” (loyal) diadaptasi dari
bahasa Prancis yaitu “Loial” yang artinya mutu dari sikap setia. Loyalitas
dipahami pada sikap kesetiaan dan keberpihakannya. Loyalitas memuat relasi
kerajaan >< tokoh dan Kusumawardani >< Ragaweni.Penaklukan dipahami
bahwa penyatuan dengan bentuk semacam itu menempatkan kelas dominan
sebagai penguasa dan kelas lain sebagai masyarakat sipil. Karena masyarakat sipil
mencakup semua organisasi dan lembaga di luar produksi dan negara, ia juga
viii
mencakup keluarga. Penaklukan memuat relasi Gajah Mada >< Gajah Enggon
dan Blambangan Majapahit.
Wirabumi adalah Menak Jinggo, munculnya julukan Menak Jinggo
sebagai bentuk olok-olok untuk menempatakannya pada posisi rendah.
Bangsawan berwajah jingga seperti sebuah aib bagi bangsawan yang dikelilingi
kemuliaan. Wirabumi tidak serta merta mendapatkan julukan seperti itu di
lingkungannya. Ada konsep genetik yang melatarbelakangi peristiwa itu. Genetik
peristiwa dan genetik subjeknya sendiri, yakni Wirabumi dilihat sebagai unsur
pembentuk.
Perang Bubat adalah fakta kemanusiaan sehingga gambaran dunia ideal itu
ternyata tidak terbentuk. Perang bubat merupakan suatu perang antara kerajaan
Majapahit dengan kerajaan Sunda yang terjadi pada tahun 1357 Masehi. Disebut
perang bubat dikarenakan perang tersebut terjadi di Pesanggrahan Bubat. Perang
tersebut dimenangkan oleh Majapahit dan mengakibatkan tewasnya seluruh
armada Kerajaan Sunda. Kemenangan Majapahit menjadi kemenangan semu.
Perang Bubat membuat dua peristiwa ideal yang gagal, penyatuan
pernikahan dari Hayam Wuruk dan penyatuan Nusantara milik Gajah Mada.
Peristiwa Bubat menjadi bumerang, senjata yang menyerang balik pemiliknya.
Gajah Mada sebagai Mahapatih Hayam Wuruk sedang ingin mewujudkan
ambisinya pada Sumpah Palapa menjadi petaka bahwa dirinya harus melepaskan
diri dari pemerintahan Hayam Wuruk. Hayam Wuruk selain gagal mendapatkan
istri dari Kerajaan Sunda, hubungan kedua kerajaan pun terpecah.
Konsep ideal tersebut disebut sebagai strukturasi karena saat merencakan
sesuatu secara ideal dibuat rencana-rencana secara terstruktur. Akan tetapi,
ternyata apa yang menjadi kenyataan di universitas tersebut tidak sesuai dengan
strukturasi yang dilakukan terhadap kenyataan itu. Struktur rencana Hayam
Wuruk memperoleh hambatan. Strukturasi yang dilakukan berhadapan dengan
kenyataan bahwa kondisi sosial yang dihadapi itu telah distrukturalkan atau
ditransformasikan oleh Gajah Mada dengan cara yang berbeda atau bertentangan
dengan Hayam Wuruk.
Penerobosan yang dilakukan Hayam Wuruk karena hambatan pada
dirinya, di antaranya gagalnya menikahi Dyah Pitaloka, terpaksa menikahi Sri
Sudewi adik sepupunya, serta ditinggalkan sosok yang memperluas kekuasaan
Majapahit membuatnya menemukan perempuan yang digadang-gadang sebagai
titisan Dyah Pitaloka. Pertemuan Hayam Wuruk dengan Biniaji sehingga
menjadikannya istri membuat terjadinya penggabungan unsur desa dan unsur kota
pada pernikahan itu. Biniaji sebagai desa, religi, rakyat, dan pinggiran bersatu
dengan Hayam Wuruk sebagai kota, kuasa, raja, dan pusat. Pusat pergi ke
pinggiran dan membuat pinggiran itu berada di pusat. Di lingkungan pusat,
keberadaan Biniaji tetap menjadi pinggiran. Posisi semacam itu melahirkan
Wirabumi sebagai struktur yang tidak tetap, ia anak raja tetapi berasal dari selir
dan ibu yang tidak dari kalangan pusat. Novel Menak Jinggo menempatkan itu
sebagai suara-suara dari Wirabumi. Sisi Wirabumi sebagai pandangan dunia
mengacu pada pendapat Goldmann. Wirabumi menjadi hero yang problematik,
pembahasan itu akan dijelaskan pada bagian selanjutnya mengenai pandangan
dunia.
Menak Jinggo mengalami banyak pergeseran dari penggunaan fungsi
awalnya, menempatkan Wirabumi pada posisi inferior dan menjadikan suara
kehadirannya tidak diperhitungkan. Wirabumi membongkar ulang makna Menak
Jinggo menjadi sebuah pemahaman pengetahuan untuk mengangkat suara-suara
yang tersisih. Pandangan dunia Wirabumi sebagai Menak Jinggo adalah
menampilkan suara yang terisihkan. Pandangan dunia ini menjadi sebuah kritik
terhadap sistem di dalam kerajaan Majapahit. Posisi dominan Sapta Prabu
menjadikan Majapahit tidak lagi sebagai negara di bawah tata aturan perundangundangan Kitab Kutaramanawa. Keistimewaan posisi Sapta Prabu sedang digugat
oleh Wirabum dengan menggunakan stereotip yang dilekatkan padanya, Menak
Jinggo.
Bangsawan Majapahit terlalu nyaman pada ruang-ruang eksklusif sehingga
melupakan suara-suara yang tersisihkan: pinggiran, desa, negara bagian, jelata,
dan pertanian. Kemampuan Wirabumi menerobos ruang-ruang itu sehingga
kekuatan militer ditundukkan dengan menampilkan sisi hegemonik Majapahit
yang tersisihkan, keadilan dari Kitab Kutaramanawa. Perebutan posisi penguasa
pengganti Hayam Wuruk tidak ditempatkan pada posisi sentral oleh Wirabumi, ia
melihat kepentingan Majapahit bukan persoalan raja tetapi strategi sistematis.
Kemunculan suara semacam ini karena ia menjasi hero problematis, berdasarkan
fakta kemanusiaan yang dialaminya serta subjek kolektif yang membentuknya.
Lingkungan sosial kelas atas tidak menerima penuh kehadirannya dan upaya
penyingkiran dari lingkungan kekuasaan menggunakan stereotip Menak Jinggo.
Menak Jinggo menemukan pemaknaan ulang di lingkungan kelas bawah luar
keraton bahwa itu menjadi sebuah kekuatan untuk menemukan kembali suara
yang tersisihkan dan menampilkannya di dalam keraton.