Faktor Lingkungan yang Berhubungan dengan Perilaku Buang Air Besar Sembarangan (BABS) : Studi di Wilayah Kerja Puskesmas Pujer Kabupaten Bondowoso
Abstract
Perilaku tidak higienis serta sanitasi yang kurang memadai masih menjadi
persoalan penting bagi warga Indonesia khususnya pada kasus buang air besar
sembarangan (BABS). Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah
mencanangkan program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) untuk
mengurangi angka kesakitan dan kematian akibat sanitasi buruk dengan Stop
Buang Air Besar Sembarangan (SBS) sebagai pilar pertama. Hingga tahun 2019
jumlah BABS di Kabupaten Bondowoso sebanyak 96.544 KK. Kecamatan Pujer
merupakan kecamatan dengan angka BABS tertinggi di Kabupaten Bondowoso
pada tahun 2019 yakni sebanyak 9.766 KK (65,22%) dari 15.538 KK serta belum
terdapat satupun desa yang terverifikasi ODF. Oleh karena itu, penelitian ini
dilakukan untuk menganalisis faktor lingkungan yang berhubungan dengan buang
air besar sembarangan di Kecamatan Pujer Kabupaten Bondowoso.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif analitik observasional
dengan pendekatan cross sectional. Pemilihan sampel dengan menggunakan
teknik simple random sampling dan diperoleh sampel sebanyak 97 responden.
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara menggunakan kuesioner
serta observasi. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah perilaku buang air
besar sembarangan sedangkan variabel bebasnya adalah umur, pengetahuan,
sikap, ketersediaan air bersih, kepemilikan jamban, ketersediaan WC umum,
ketersediaan lahan, kondisi tanah, jarak rumah ke sungai, peran petugas kesehatan
dan dukungan perangkat desa. Data yang telah terkumpul dianalisis dengan
metode univariat dan bivariat dengan uji Chi-square.
Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 64 responden (66%) masih
melakukan buang air besar sembarangan. Pada faktor predisposisi sebanyak 51
responden (52,6%) memiliki umur dengan kategori dewasa, sebanyak 57
responden (58,8%) memiliki pengetahuan yang kurang dan sebanyak 41
responden (42,3%) memiliki sikap kurang baik. Pada faktor enabling sebanyak 86
responden (88,7%) memiliki ketersediaan air bersih, 59 responden (60,8%) tidak
memiliki jamban sehat, 53 responden (54,6%) mengatakan tersedia WC umum di
sekitar tempat tinggalnya, 43 responden (44,3%) tidak memiliki ketersediaan
lahan, 79 responden (81,4%) memiliki tempat tinggal dengan kondisi tanah biasa
dan 60 responden (61,9%) memiliki rumah dekat dengan sungai. Pada faktor
reinforcing sebanyak 75 responden (77,3%) mengatakan dukungan tenaga
kesehatan masih kurang dan 85 responden (87,6%) kurang mendapat dukungan
perangkat desa. Berdasarkan dari analisis bivariat, diperoleh hasil bahwa pada
faktor predisposisi terdapat hubungan antara pengetahuan dan sikap dengan
perilaku BABS, namun tidak terdapat hubungan antara umur dengan perilaku
BABS karena baik responden dengan usia remaja, dewasa maupun lanjut usia
rata-rata masih melakukan BABS. Faktor enabling menunjukkan terdapat
hubungan antara kepemilikan jamban sehat, ketersediaan WC umum, ketersediaan
lahan dan jarak rumah ke sungai dengan perilaku BABS. Namun ketersediaan air
bersih dan struktur tanah tidak memiliki hubungan dengan perilaku BABS karena
masyarakat memiliki ketersediaan air yang cukup dan tinggal di daerah dengan
kondisi tanah yang baik tetapi tetap melakukan BABS. Faktor reinforcing
menunjukkan terdapat hubungan antara peran petugas kesehatan dan dukungan
perangkat desa dengan perilaku BABS.
Saran yang dapat diberikan antara lain, pihak puskesmas dan tenaga
kesehatan diharapkan dapat menambah intensitas penyuluhan serta melakukan
pemasangan poster terkait jamban sehat, penyuluhan juga dapat diberikan pada
saat posyandu. Kepada masyarakat diharapkan memiliki kemauan untuk mencari
informasi terkait pentingnya pemanfaatan jamban serta dapat mengajak seluruh
anggota keluarganya untuk melakukan buang air besar pada jamban pribadi
maupun jamban umum.
Collections
- UT-Faculty of Public Health [2227]