dc.description.abstract | Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit Plasmodium dan ditransmisikan oleh gigitan nyamuk Anopheles betina. Pada tahun 2017, 63% dari keseluruhan kasus malaria di Indonesia disebabkan oleh P. falciparum (WHO, 2021). Malaria berat akibat P. falciparum dimediasi oleh antigen Plasmodium falciparum erythrocyte membrane protein 1 (PfEMP1). Antigen PfEMP1 memiliki domain DBL2β yang bersifat spesifik mengikat reseptor intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1), reseptor yang terlibat dalam kejadian malaria berat. Peningkatan antibodi karena protein rekombinan DBL2β dapat memblokir pengikatan antara DBL2β dan reseptor ICAM-1. Karena peran penting dalam patogenesis malaria berat, DBL2β-PfEMP1 menjadi kandidat vaksin malaria berbasis peptida. Protein rekombinan DBL2β-PfEMP1 telah terbukti bersifat imunogenik dalam suatu penelitian in vivo. Namun, belum ada data mengenai dosis optimal protein rekombinan tersebut. Penelitian ini menguji respons imun yang direpresentasikan oleh kenaikan jumlah leukosit dan IgG. Nilai IgG akan menjadi dasar penentuan dosis optimal protein rekombinan DBL2β-PfEMP1. Penelitian ini bersifat eksperimental dengan menggunakan tikus berusia 2-3 bulan dengan berat 150-350 g. Protein DBL2β-PfEMP1 diproduksi, diekstraksi, dipurifikasi, divisualisasi dengan SDS-PAGE, kemudian dianalisis konsentrasinya dengan menggunakan Bradford protein assay. Dosis protein rekombinan yang diberikan yaitu, 100 µg, 150 µg, dan 200 µg. Injeksi dilakukan sebanyak tiga kali dengan jeda waktu tiga minggu. Leukosit dihitung menggunakan kamar hitung Improved Neubauer dan diamati di bawah mikroskop, sedangkan konsentrasi IgG diukur menggunakan uji ELISA. Hasil hitung jumlah leukosit dianalisis dengan uji Friedman dan Kruskal Wallis. Konsentrasi IgG memenuhi syarat uji parametrik, sehingga hasilnya dianalisis dengan Mixed ANOVA. Untuk mengetahui kelompok yang berbeda signifikan, dilakukan uji post hoc Bonferroni. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata leukosit terendah adalah pada saat pre-injeksi dan rata-rata leukosit tertinggi adalah pada saat 8 hari pasca injeksi injeksi sekunder II. Leukosit meningkat secara signifikan pada kelompok perlakuan (p<0,05), sedangkan pada kelompok kontrol tidak terjadi peningkatan leukosit. Pada data IgG, terdapat perbedaan yang signifikan antar kelompok tikus (p<0,05). Perbedaan yang signifikan terjadi antara kelompok kontrol dan kelompok dosis 150 µg. Namun, tidak ada perbedaan yang signifikan antar kelompok perlakuan. Dengan demikian, dosis optimal protein rekombinan DBL2β-PfEMP1 yang dapat menginduksi respons imun tikus adalah 150 µg. | en_US |