Resiliensi Santri Gay di Pondok Pesantren X dan Y Kabupaten Jember
Abstract
Kabupaten Jember mencatat jumlah gay pada tahun 2019 sebanyak 831 jiwa. Akibat perilaku menyimpang seksual yang dilakukan santri gay dapat berdampak pada kesehatan mental, fisik, risiko penularan HIV/AIDS dan aktivitas sosial santri gay yang dapat menimbulkan trauma dan penurunan aktualitas diri. Santri gay akan berusaha beradaptasi dengan menggunakan kemampuan resiliensinya. Resiliensi diartikan sebagai kemampuan santri gay untuk stabil, tangguh dalam keadaan yang menekan atau bangkit dari sebuah trauma sehingga tidak terjadi penurunan kualitas hidup dan memiliki keinginan heteroseksual.
Penelitian ini merupakan studi kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Penentuan informan utama menggunakan teknik snowball. Pengambilan data menggunakan panduan wawancara mendalam dengan teknik indepth interview terkait kajian faktor risiko, faktor protektif dan karakterisitik resiliensi santri gay. Analisis data yang digunakan adalah content analysis. Uji kredibilitas menggunakan triangulasi sumber.
Hasil penelitian menunjukan, dalam kajian faktor risiko keseluruhan informan memiliki faktor penyebab gay berbeda-beda. Keseluruhan informan utama pernah menjadi korban bullying karena lingkungan sosial cenderung negatif sehingga membuat informan utama merasa tertekan. Lingkungan sekitar kerap kali membahas kejadian pelecehan seksual yang dilakukan informan dan menjadikannya bahan ejekan sehingga informan merasa sakit hati dan tidak nyaman terhadap lingkungannya. Keseluruhan informan utama mengalami trauma mental akibat stigma dan diskriminasi yang menyebabkan informan merasa tertekan. Kondisi informan yang tertekan membuat informan melakukan hal-hal negatif seperti menyalahkan diri sendiri, masturbasi, mencari korban lainnya, memiliki keinginan bunuh diri, hingga melakukan percobaan bunuh diri. Keberadaan faktor protektif dianggap menguntungkan bagi individu dikarenakan kondisi inilah yang mengubah persepsi-persepsi dari emosi negatif menjadi persepsi yang positif sehingga memperkuat perkembangan dan pencapaian resiliensi. Keberadaan pengaruh agama dan faktor internal memiliki pengaruh kuat untuk menjadikan individu memiliki keinginan heteroseksual dan bangkit dari dampak buruk yang dialami selama menjadi gay. Dalam kajian karakteristik resiliensi santri gay menujukkan 1) Terdapat 3 informan yang mengaku belum mampu meregulasi emosi dengan baik. Ketidakmampuan tersebut membuat informan cenderung susah dalam mengenali dan menanggapi keadaan sehingga cenderung labil dalam mengontrol suasana hati. Sedangkan 2 informan utama lainnya mengaku sudah memiliki kemampuan dalam meregulasi emosi. 2) Terdapat 3 informan utama yang mengaku cenderung impulsif saat memperoleh rangsangan negatif dari luar. Sedangkan 2 informan utama lainnya mengaku sudah memiliki kemampuan dalam mengendalikan impuls. Kemampuan ini ditunjukkan dari perilaku informan utama pada saat dihadapkan dengan rangsangan dari luar yang cenderung stabil dan tidak impulsif. 3) Seluruh informan utama menunjukkan optimisme yang baik. Dorongan ini berasal dari dalam diri informan karena memiliki cita-cita dan keinginan yang kuat, keluarga dan orang terdekat. 4) Seluruh informan utama dianggap mampu melakukan analisis penyebab masalah dengan baik. Kemampuan ini memungkinkan informan utama untuk mengambil hikmah dari pengalaman di masa lalu, belajar dari kesalahan dan tidak mengalami kesalahan yang sama. 5) Seluruh informan utama dianggap memiliki empati yang baik. Informan utama memiliki rasa empati terhadap emosi-emosi yang berada di lingkungan sosial mereka yang dituangkan dalam bentuk tindakan yaitu tolong-menolong kepada orang-orang terdekat. 6) Seluruh informan utama dianggap memiliki efikasi diri yang baik, ditunjukkan dari keyakinan dalam memecahkan persoalan dan kemauan untuk terus maju mencapai kesuksesan. 7) Seluruh informan utama dianggap mampu melakukan reaching out dengan baik. Informan mengaku telah mampu mengatasi keterpurukan dan berbagi masalahnya dengan orang terdekat sebagai upaya pencarian solusi.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah pencapaian resiliensi santri gay mayoritas tergolong baik meskipun berbeda-beda di tiap aspeknya. Santri gay memiliki keinginan heteroseksual dan bangkit dari dampak buruk yang dialami selama menjadi gay. Pencapaian paling rendah santri gay berada pada aspek regulasi emosi dan pengendalian impuls. Efikasi diri merupakan aspek penunjang keberhasilan resiliensi paling penting. Hal tersebut tidak lepas dari dukungan teman curhat, keluarga dan lingkungan sosial lain yang mendorong santri gay untuk mengoptimalkan kemampuan interpersonalnya (atribut individu). Santri gay memerlukan adanya tindakan pemeliharaan agar tetap dalam kondisi stabil dengan cara menguatkan faktor protektif dan menghindari faktor risiko.
Saran dari peneliti diantaranya bagi orang tua, teman curhat, dan pengasuh pondok pesantren diharapkan secara aktif berkomunikasi dengan santri gay baik langsung/ melalui media sosial seperti whatssapp dan telephone minimal sekali setiap hari sebagai upaya pendampingan, pemulihan dan pemeliharaan pasca kejadian. Bagi instansi terkait yaitu pondok pesantren, dinas kesehatan, dan lembaga swadaya masyarakat terkait gay perlu adanya sosialisasi upaya promotif dan preventif terhadap perilaku gay secara menyeluruh di pondok pesantren Kabupaten Jember. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat melakukan penelitian resiliensi secara kuantitatif tentang hubungan faktor risiko dan faktor protektif terhadap tingkat keberhasilan resiliensi santri gay serta memperluas cakupan populasi penelitian misalnya pada santri gay di Pondok Pesantren se-Kabupaten Jember dengan tetap mempertimbangkan kemampuan dirinya.
.
Collections
- UT-Faculty of Public Health [2227]