dc.description.abstract | Karya sastra mengandaikan gambaran kehidupan yang relevan dengan
fenomena sosial bahkan representasi sejarah suatu bangsa. Oleh sebab itu,
mengkaji karya sastra erat kaitannya dengan konteks historis realitas. Fenomena
karya sastra yang mencerminkan tema hubungan dominasi-subordinasi atau
penjajah-terjajah tidak jarang diangkat dalam kesusastraan Indonesia. Hal tersebut
tidak dapat terelakkan manakala Indonesia merupakan bekas praktik kolonisasi.
Berdasarkan uraian tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu: (1)
Bagaimanakah bentuk relasi kekuasaan dalam novel Tanah Tabu karya Anindita
Siswanto Thayf, (2) Bagaimanakah bentuk respons subaltern terhadap relasi
kekuasaan dalam novel Tanah Tabu karya Anindita Siswanto Thayf, dan (3)
Bagaimanakah pemanfaatan kajian sastra poskolonial yang terdapat dalam novel
Tanah Tabu karya Anindya Siswanto Thayf sebagai alternatif pembelajaran sastra
di SMA.
Jenis penelitian ini adalah kualitatif. Rancangan penelitian yang digunakan
adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan poskolonial. Data dalam penelitian
ini berupa kutipan fenomena dalam bentuk kata-kata, kalimat, atau wacana dalam
novel Tanah Tabu karya Anindita Siswanto Thayf yang diidentifikasi sebagai
bentuk relasi kekuasaan dan respons subaltern. Sumber datanya adalah naskah
novel Tanah Tabu karya Anindita Siswanto Thayf dan silabus SMA kelas XI
kurikulum 2013 revisi 2018. Teknik pengumpul data menggunakan teknik
dokumentasi, sedangkan teknik analisis data menggunakan deskriptif analisis.
Hasil penelitian ini menunjukkan bentuk relasi kekuasaan yang terkandung
dalam novel Tanah Tabu karya Anindita Siswanto Thayf yaitu: pertama, relasi
kekuasaan Belanda pada tahun 1946 yang melakukan politik dekolonisasi di
Papua. Relasi kekuasaan Belanda dioperasionalkan melalui hegemoni dan
negosiasi identitas; kedua, relasi kekuasaan korporasi direpresentasikan dalam
novel Tanah Tabu karya Anindita Siswanto Thayf. Kekuasaan korporasi
dioperasionalkan melalui proses hegemoni. Hegemoni tersebut meliputi hegemoni
sosial, hegemoni ekonomi dan hegemoni politik; ketiga, relasi kekuasaan Bangsa
Indonesia direpresentasikan dalam novel Tanah Tabu karya Anindita Siswanto
Thayf. Hasil penelitian menunjukkan dominasi kekuasaan dioperasionalkan
melalui institusi negara dan partai politik.
Terdapat tiga respons perlawanan subaltern terhadap relasi kekuasaan,
yaitu: pertama, respons terhadap Belanda. Hasil penelitian menunjukkan dalam
konteks perjumpaan antara Belanda dan pribumi Papua, hegemoni dan negosiasi
identitas diterima subaltern sebagai suatu hal yang wajar dan tanpa paksaan.
Artinya, terjadi manipulasi terselubung oleh Belanda terhadap pribumi Papua;
kedua, respons subaltern terhadap hegemoni korporasi perusahaan emas. Relasi
kekuasaan korporasi tersebut menjadi pertempuran antara idealisme kapitalis dan
idealisme lokal Papua berdasarkan realitas yang tidak sesuai dengan ekspetasi;
ketiga, respons masyarakat subaltern terhadap relasi kekuasaan bangsa Indonesia
berupa respons terhadap institusi negara dan partai politik.
Melalui penelitian yang menunjukkan relasi kekuasaan dan respons
masyarakat subatern Papua dalam novel Tanah Tabu karya Anindita Siswanto
Thayf memiliki potensi untuk digunakan sebagai alternatif materi pembelajaran
Sastra di SMA kelas XI pada materi pembelajaran yang disesuaikan dengan
kompetensi dasar 4.17 pada kurikulum 2013 revisi 2018, yaitu mengonstruksi
sebuah resensi dari buku kumpulan cerita pendek atau novel yang sudah dibaca.
Saran yang diberikan adalah sebagai berikut. Pertama, dalam konteks
pendidikan formal dan lingkup akademis, hasil penelitian novel Tanah Tabu karya
Anindita Siswanto Thayf dapat menjadi rekomendasi penelitian selanjutnya
dengan melakukan eksperimen di kelas. Peneliti atau guru menggunakan
rancangan pembelajaran yang telah disusun. Lebih lanjut, dalam pendekatan
poskolonial terhadap novel Tanah Tabu karya Anindita Siswanto Thayf dapat
dikembangkan melalui konsep warisan kolonial, politik tubuh, dan konsep
lainnya. Kedua, bagi pembaca melalui hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai
refleksi pemahaman kritis dalam menyikapi fenomena relasi kekuasaan dan
realitas masyarakat Papua sehingga tidak semena-mena dalam memberikan opini
terkait polemik di Papua. | en_US |