Konflik antara Pemerintah Thailand dengan Kelompok Separatis di Thailand Selatan
Abstract
Kelompok-kelompok separatis di Thailand Selatan masih memperjuangkan kemerdekaan dari Thailand untuk tiga provinsi, yakni provinsi Pattani, Yala, Narathiwat, dan beberapa bagian di provinsi Songkhla. Meskipun konflik yang sudah terjadi sejak tahun 1960-an ini sempat mereda pada tahun 1980-an, konflik ini berekskalasi kembali di era pemerintahan Thaksin Shinawatra pada tahun 2004. Upaya penyelesaian konflik baik di tingkat domestik ataupun dengan keterlibatan internasional telah ditempuh. Oleh karena itu, menganalisis penyebab konflik menjadi berlarut-larut meskipun telah dilakukan upaya perdamaian menjadi penting. Dengan menggunakan teori relative deprivation, penelitian ini menggambarkan penyebab kelompok separatis melakukan pemberontakan, yakni kebijakan-kebijakan yang diskriminatif terhadap masyarakat minoritas Melayu-Muslim di Thailand Selatan oleh Pemerintah Siam pasca menganeksasi Kerajaan Patani. Skripsi ini juga menganalisis faktor-faktor yang menjadikan konflik menjadi berlarut-larut dengan menggunakan teori protracted social conflict. Penulis juga menggunakan teori Factors Affecting Mediation Success yang dikemukakan Jacob Bercovitch untuk mengetahui faktor apa yang membuat upaya perdamaian tidak berhasil. Konflik separatis di Thailand Selatan berlarut karena dipicu oleh ketidakpuasan Melayu-Muslim secara terus menerus. Masyarakat Melayu-Muslim di Thailand Selatan masih menjadi sasaran kebijakan diskriminatif berbasis etnisitas oleh pemerintah Thailand. Selain itu juga dipengaruhi oleh skeptisisme pihak Pemerintah Thailand dan kelompok separatis terhadap Malaysia sebagai mediator dialog damai.