dc.description.abstract | Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pariwisata sebagai paradigma pembangunan yang cenderung bergerak dalam sektor jasa dan industri, khususnya industri pariwisata. Wisata sudah menjadi bagian dari hidup manusia, sehingga banyak kawasan atau objekobjek wisata yang bermunculan dan terus dikembangkan di berbagai daerah di Indonesia, khususnya wisata alam. Jenis wisata tersebut banyak diminati oleh para wisatawan, disebabkan karena kejenuhan wisatawan terhadap objek wisata buatan. Salah satu daerah yang kaya dengan potensi alamnya adalah Jember. Hal itu dapat dilihat dari beberapa objek wisata alam yang berkembang disana, antara lain yang mendominasi dan terkenal di kalangan wisatawan adalah pantai Watu Ulo yang berada di dusun Watu Ulo desa Sumberejo. Sementara pada beberapa waktu kemudian, pantai Watu Ulo mengalami penurunan minat wisatawan, wisata baru mulai diminati pengunjung yakni pantai Payangan yang masih satu garis dengan pantai Watu Ulo. Namun wisata pantai Payangan tidak sepenuhnya mampu menarik wisatawan, karena tidak didukung dengan sarana dan prasarana yang baik, kurangnya pengetahuan masyarakat akan pariwisata dan kurangnya andil pemerintah untuk mengembangkan potensi yang ada di Payangan. Dengan situasi seperti itu, akhirnya kesadaran dan kreativitas muncul dari sekelompok masyarakat dan tergabung dalam kelompok Massawil. Mereka mulai mengembangkan potensi alam berupa bukit Suroyo di ujung selatan pantai Payangan untuk dijadikan wisata alam. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui, mendeskripsikan, serta menganalisa praktik yang dilakukan oleh kelompok Massawil dalam pembangunan wisata alam Bukit Suroyo di Payangan. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Teknik penentuan informan menggunakan teknik purposive. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu observasi, wawancara, dan dokumentasi. Selanjutnya, keabsahan data menggunakan teknik.
triangulasi. Teknik analisis data mencakup seluruh kegiatan mengklasifikasikan, menganalisa, memaknai dan menarik kesimpulan dari semua data yang telah diperoleh. Praktik pembangunan wisata alam bukit Suroyo dijelaskan menggunakan teori Pierre Bourdieu tentang praktik. Dari hasil analisis data, pembangunan wisata alam bukit Suroyo terbentuk dengan habitus, medan dan modal yang saling berkaitan. Mereka yang terlibat dalam pembangunan wisata merupakan aktor yang memiliki habitus. Di satu sisi habitus diciptakan melaui praktik dan di sisi lain, ia sebagai bentuk yang diciptakan dunia sosial. Dalam konteks ini, habitus yang dilakukan aktor tidak lepas dari pengaruh kondisi lingkungan atau alam dan dunia sosial yang mereka tempati. Jika dulu laut dianggap sumber ekonomi satu-satunya, maka berbeda dengan sekarang, dimana perkembangan objek wisata baik di pantai Watu Ulo maupun Payangan memberikan cara pandang baru yang kemudian tumbuh menjadi habitus sadar wisata. Habitus meungkinkan aktor untuk mengatur strategi dalam medan yang mereka tempati, yaitu medan pengelolaan wisata. Pengelolaan wisata sebagai medan, menyediakan berbagai bentuk modal. Oleh karena itu, secara perlahan muncul pelaku-pelaku wisata di daerah Payangan. Kelompok Massawil merupakan sekian dari banyak warga sekitar yang menjadi pelaku wisata, yang mana mereka memanfaatkan situasi tersebut untuk meningkatkan ekonomi mereka dengan membuka usaha sesuai modal yang mereka miliki. Antara lain seperti tempat penitipan, warung makan, toko pernak-pernik dan lain sebagainya. Kelompok tersebut dengan beberapa anggota yang memiliki latar belakang pekerjaan berbeda, untuk kemudian mengatur cara untuk mempertahankan posisinya dalam medan, dimana pada saat itu objek pantai Watu Ulo dirasa terus mengalami penurunan, sehingga mereka menginisiasi pembangunan wisata alam bukit Suroyo di Payangan. Dalam medan tersebut, kelompok Massawil tidak mengalami cukup kendala baik secara vertikal maupun horizontal dalam proses pembangunan wisata alam bukit Suroyo. Hal itu disebabkan birokrasi yang cukup bebas dan longgar dalam pemanfaatan tanah negara salah satunya bukit Suroyo tersebut. Sementara secara horizontal kelompok Massawil di awal perintisannya, bersinggungan dengan kepentingan masyarakat sekitar dan menimbulkan kecemburuan sosial dengan berkembangnya bukit Suroyo sebagai wisata. Sehingga mediasi dilakukan oleh pemerintah setempat dan menghasilkan kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak. Pembangunan tersebut dapat berjalan tentu didukung dengan modal-modal yang dimiliki kelompok Massawil dalam pembangunan wisata antara lain seperti modal ekonomi berupa uang, modal budaya berupa pengetahuan akan media dan pariwisata, serta modal sosial berupa jaringan atau hubungan sosial, misalnya dengan beberapa komunitas wisata yaitu ASIDEWI (Asosiasi Desa Wisata) dan EJEF (East Java Ecotourism Forum). Modal ekonomi yang kemudian terakumulasi, dikelola kembali untuk kesejahteraan anggota dan sebagian besar untuk pembangunan wisata. | en_US |