| dc.description.abstract | Terdapat tiga jenis kopi yang dikembangkan di Indonesia, yaitu kopi 
Robusta, kopi Arabika, dan kopi Liberika. Kopi Robusta merupakan jenis kopi 
yang paling banyak dikembangkan di Indonesia. Kabupaten Jember merupakan 
salah satu daerah dengan ketinggian yang sesuai untuk perkebunan kopi Robusta. 
Kopi Robusta kebun Durjo dan Argopuro adalah salah satu komoditas lokal di 
kabupaten Jember. Kopi memiliki kandungan volatil penyusun aroma kopi yang 
akan keluar ketika dilakukan penyeduhan atau pemanasan. Aroma kopi yang 
dihasilkan kemudian dideteksi oleh manusia dengan menggunakan hidung. Saat 
ini dilakukan pengembangan teknologi dengan meniru sistem deteksi pada hidung 
yang lebih dikenal dengan electronic nose. Electronic nose ini dapat digunakan 
dengan adanya sensor array atau susunan beberapa sensor. Sensor array yang 
digunakan untuk mendeteksi aroma kopi Argopuro dan Durjo menggunakan MQ-
135, MQ-2, MQ-3, MQ-6, dan MQ-7. Aroma kopi Argopuro dan Durjo dapat 
dibedakan dengan melihat perbedaan pola respon yang dihasilkan. Sistem deteksi 
aroma kopi Argopuro dan Durjo dilakukan dengan menggunakan variasi 
temperatur pemanasan yaitu 45 oC, 50 oC, 55 oC, dan 60 oC serta dengan 
menggunakan udara bebas, nitrogen, dan udara kering sebagai gas pembawa pada 
ukuran bubuk kopi 50-60 mesh.
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Analitik dan Laboratorium 
Kimia Fisik Anorganik Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu 
Pengetahuan Alam, Universitas Jember mulai bulan November 2019 hingga April 
2020. Langkah awal yang dilakukan pada penelitian ini adalah menentukan 
temperatur pemanasan optimum. Data respon tegangan yang didapat dari 
pengukuran kemudian diolah hingga mendapatkan pola respon dari masing masing kopi dan juga digunakan untuk dianalisis dengan menggunakan PCA. 
Analisis dengan PCA dilakukan untuk melihat perbedaan karakteristik kopi 
Argopuro dan kopi Durjo. 
Penentuan temperatur optimum tidak bisa didapatkan hanya dengan 
melihat perbandingan pola respon kopi Durjo dengan kopi Silo, Silosanen, dan 
Sidomulyo pada suhu 45 oC, 50 oC, 55 oC, dan 60 oC pada udara bebas sebagai 
data sekunder. Temperatur optimum juga ditentukan dengan melihat hasil analisis 
PCA kedua kopi pada variasi temperatur, dan hasil analisis PCA enam kopi yaitu 
kopi Durjo, Argopuro, Silo, Garahan, Silosanen, dan Panti. Hasil dari 
perbandingan pola respon empat kopi, analisis PCA kedua kopi, dan analisis PCA 
dengan enam kopi menunjukkan bahwa suhu 50 oC adalah temperatur pemanasan 
yang optimum. Temperatur optimum pada analisis PCA dua kopi dan enam kopi 
yang memiliki suhu optimum 50 oC ditunjukkan dengan dari persebaran data yang 
saling menjauh, dimana hal tersebut menunjukkan bahwa kopi satu dengan yang 
lainnya menghasilkan aroma yang berbeda. Temperatur pemanasan optimum yang 
telah diperoleh kemudian digunakan pada kedua kopi dengan ketiga gas 
pembawa. Variasi gas pembawa dilakukan pada kopi Argopuro dan Durjo untuk 
menentukan gas pembawa yang optimum dalam membawa senyawa volatil 
penyusun aroma kopi. Gas pembawa yang optimum ditentukan dari gas pembawa 
yang memiliki pola yang berbeda pada kopi yang sama. Hasil pola respon kopi 
Durjo dan Argopuro menunjukkan bahwa nitrogen memiliki pola yang paling 
berbeda. Tetapi pola respon tidak dapat dijadikan satu-satunya acuan untuk 
melihat gas pembawa yang optimum, perlu dilakukan analisis lebih lanjut dengan 
mengguakan PCA. 
Hasil analisis PCA yang dilakukan memiliki nilai PC1 sebesar 75,18% dan 
PC2 sebesar 25,87% dengan persentasi variansi kumulatif sebesar 98,05%. Hasil 
analisis dengan PCA menunjukkan persebaran data udara kering yang paling 
terpisah dari udara bebas dan nitrogen. Hasil tersebut menunjukkan bahwa udara 
kering merupakan gas pembawa yang optimum bagi kopi Durjo dan Argopuro 
Nilai recovery baseline yang didapat dari semua pengukuran mendapatkan nilai di
atas 80% yang menunjukkan bahwa kinerja sensor sudah cukup baik. | en_US |