SIKAP KORBAN BENCANA TERHADAP RELOKASI PASCABENCANA BANJIR TAHUN 2008 (STUDI KASUS: PERUMAHAN RELOKASI DI RT. 01 / RW. 06 DUSUN PAREYA’AN DESA SUMBERKOLAK KECAMATAN PANARUKAN KABUPATEN SITUBONDO)
Abstract
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan sikap korban bencana
terhadap relokasi, serta latar belakang dan dampak dari sikap korban bencana
terhadap relokasi pascabencana banjir tahun 2008 di RT. 01 / RW. 06 Dusun
Pareya’an Desa Sumberkolak Kecamatan Panarukan Kabupaten Situbondo.
Dilihat dari potensi bencana, Indonesia merupakan negara dengan potensi
bahaya yang tinggi dan beragam, baik berupa bencana alam maupun bencana sosial.
Beberapa potensi tersebut antara lain adalah gempa bumi, tsunami, letusan gunung
api, banjir, tanah longsor, kekeringan, kebakaran lahan dan hutan, kebakaran
permukiman, angin badai, wabah penyakit, kegagalan teknologi dan konflik sosial.
Memang pada intinya, bencana itu tidak dapat diperkirakan kapan akan terjadi. Akan
tetapi sebelum terjadinya bencana, hal yang dapat dilakukan yaitu mengurangi risiko
atau dampak yang ditimbulkan setelah terjadinya bencana dan kita semua harus siaga
akan datangnya bencana, bukan malah pasrah akan terjadinya bencana. Semua harus
ramah dan bersahabat dengan alam dan bencana. Oleh karena itu, perlu adanya
manajemen pengurangan resiko bencana untuk mengantisipasi terjadinya bencana
alam yang datangnya tidak dapat kita perkirakan. Upaya untuk mengurangi resiko
bencana, membutuhkan pemahaman dan kesadaran dari semua pihak terkait terutama
bagi pemerintah sebagai pihak pengambil keputusan. Pasal 33 UU No. 24 Tahun
2007 menjelaskan bahwa, ada tiga tahap dalam penyelenggaraan penanggulangan
bencana yaitu: 1) tahap prabencana yaitu tahap penanggulangan bencana yang
dilakukan pada saat tidak atau sebelum terjadinya bencana; 2) tahap tanggap darurat
yaitu tahap penanggulangan bencana pada saat terjadinya bencana; dan 3) tahap
pascabencana yaitu tahap yang meliputi rehabilitasi (perbaikan dan pemulihan) dan
rekonstruksi (pembangunan kembali).
Di samping itu, untuk mencegah risiko atau dampak yang diakibatkan oleh
bencana, hal yang juga dapat dilakukan ialah penanganan bencana melalui relokasi
permukiman penduduk bagi korban bencana banjir yang berada di daerah bantaran
sungai. Hal ini berhubungan langsung dengan pengurangan resiko bencana dan
penanggulangan bencana, jika suatu saat terjadi bencana banjir. Jika masyarakat yang
telah menjadi korban bencana sebelumnya tidak segera direlokasi ke tempat yang
lebih aman, maka akan berpengaruh besar terhadap dampak yang ditimbulkan
pascabencana yang akan datang, sebab daerah tersebut adalah daerah rawan bencana
dan jika terjadi banjir lagi, pasti akan tertempa. Oleh sebab itu, relokasi bagi korban
bencana ke tempat yang aman juga perlu suatu penanganan yang serius.
Dalam pelaksanaan kebijakan relokasi ini, dibutuhkan suatu koordinasi dan
kerjasama antara masyarakat dengan pihak pemerintah atau organisasi lokal dan
internasional pun, perlu diperhatikan. Hal ini dimaksudkan agar pelaksanaan relokasi
dapat berjalan dengan baik dan dikemudian hari tidak menimbulkan suatu
permasalahan, terutama bagi masyarakat. Dalam relokasi, masyarakatlah yang paling
utama merasakan hasilnya. Apalagi, relokasi itu merupakan proses pembangunan
permukiman baru dan di mana masyarakat mendiami lokasi baru sehingga mereka
perlu untuk membangun kembali kehidupan mereka yang sebelumnya tertata dan
berlangsung dengan baik di daerah asli mereka sebelum direlokasi.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian survei dengan pendekatan deskriptif kuantitatif. Dimana peneliti mencoba
untuk mendeskripsikan bagaimana sikap korban terhadap relokasi serta latar belakang
dan dampak dari sikap korban tersebut dengan menggunakan statistik deskriptif yang
digunakan untuk menganalisis data dengan cara mendeskripsikan atau
menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud
membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi. Penyajian data
yang digunakan oleh peneliti yaitu, menggunakan tabel, grafik, dan diagram lingkar.
Adapun hasil penelitian yang diperoleh yaitu:
1) sikap korban bencana terhadap relokasi pascabencana banjir tahun 2008 di
Situbondo, terbagi menjadi 2 kategori yaitu sebagai berikut.
a. Menerima dan menempati rumah relokasi sebanyak 40 KK atau 32,8%.
b. Menerima dan tidak menempati rumah relokasi sebanyak 82 KK atau
67,2%.
2) Hal yang melatarbelakangi sikap para korban bencana terhadap relokasi
pascabencana banjir tahun 2008 adalah sebagai berikut.
a. Latar belakang sikap korban yang menempati rumah relokasi yaitu;
1) tidak perlu memperbaiki rumah sebelumnya,
2) lingkungan relokasi aman dari bencana banjir, dan
3) rumah relokasi bagus dan layak untuk ditempati.
b. Latar belakang sikap korban yang tidak menempati rumah relokasi yaitu:
1) sudah terbiasa tinggal di lingkungan sebelumnya atau di rumah yang
dulu,
2) sepi dan jalanannya menanjak serta kurang terang,
3) lokasi terpencil dan jauh dari tempat perekonomian,
4) tidak ada alat transportasi darat yang jalurnya melewati lingkungan
relokasi, dan
5) tidak adanya pengawasan dan pendampingan dari pemerintah
kabupaten Situbondo.
3) Ada 2 dampak dari sikap-sikap korban bencana terhadap relokasi
pascabencana banjir tahun 2008 di Situbondo yaitu:
1. Penyalahgunaan hak pakai yaitu;
a) adanya korban yang menempati rumah relokasi;
b) adanya korban yang tidak menempati dan tidak mengontrakan rumah
relokasi; dan
c) adanya korban yang tidak menempati dan mengontrakan rumah
relokasi.
2. Dalam pelaksanaan kebijakan relokasi terdapat kegagalan kebijakan pada
proses implementasi kebijakan relokasi bagi korban pasca bencana banjir
tahun 2008 di RT. 01 / RW. 06 Dusun Pareya’an Desa Sumberkolak
Kecamatan Panarukan Kabupaten Situbondo. Hal ini didasarkan pada
beberapa hal yang telah dideskripsikan yaitu sebagai berikut.
a. Dalam melaksanakan kebijakan relokasi ini, pemerintah lebih
memperhatikan dampak yang dihasilkan pada segi fisik saja
(membangunan rumah relokasi). Pemerintah tidak juga
memperhatikan dampaknya dari segi non-fisik (membangun kembali
kehidupan sosial masyarakat), karena 2 hal itu merupakan poin
penting dari relokasi;
b. Ketidakmampuan pemerintah untuk mengetahui dimanakah poin
permasalahan utama dari kebijakan relokasi. Apakah poin kebijakan
relokasi ini ada pada poin sosial, politik, ekonomi, atau kebudayaan.
Akan tetapi, pemerintah masih belum mampu untuk memilah hal itu,
karena dampak non-fisik tidak juga diperhatikan oleh pemerintah.
c. Pemerintah tidak melibatkan partisipasi dan peran masyarakat dalam
proses kebijakan terutama dalam hal pemilihan lokasi relokasi.
Padahal peran atau partisipasi masyarakat dalam kebijakan juga sangat
diperlukan, karena masyarakat merupakan sasaran dari adanya
kebijakan relokasi ini yang secara langsung akan merasakan hasil dari
adanya relokasi.
d. Pemerintah belum mampu untuk menentukan tingkat keakutan atau
keseriusan masalah yang dihadapi. Dalam proses pelaksanaan
kebijakan relokasi ini, waktu yang dilakukan oleh pemerintah dalam
tahap pendampingan sangat singkat. Pemerintah melakukan proses
pendampingan dan pengawasan dalam tiga bulan pertama setelah
masyarakat menerima rumah relokasi dan menempati rumah relokasi.
Setelah itu, masyarakat dibiarkan begitu saja tanpa lebih lanjut
mengetahui bagaimana kondisi masyarakat di sana.
e. Dalam kebijakan relokasi ini, pemerintah justru mementingkan
perumusan kebijakan dan menaruh perhatian sedikit dalam proses
implementasi kebijakan, monitoring, dan evaluasi. Proses
implementasi, monitoring, dan evaluasi dianggap bukan sebagai
bagian dari suatu kebijakan.