dc.description.abstract | Pergeseran garis politik dan pengaturan mengenai pemerintahan
daerah, berimplikasi terhadap kedudukan, fungsi, peranan,
otoritas dan kepemimpinan kepala daerah. Kepemimpinan kepala
daerah pada Era Otonomi Daerah terkait dengan sistem pilkada
langsung oleh rakyat. Melalui pilkada langsung, masyarakat secara
demokratis bisa memilih seorang pemimpin yang mereka
harapkan dan dambakan. Implikasinya adalah pergeseran
paradigma administrasi publik dari serba negara ke arah good
governance menuntut transformasi kepemimpinan kepala daerah
dari model kepemimpinan yang tidak responsif, paternalistik, dan
birokratis, ke model kepemimpinan yang berorientasi pada
pengguna jasa, fleksibel, berorientasi kualitas, dan responsif. Model
kepemimpinan tersebut, dikenal dengan konsep kepemimpinan
transformasional, entrepreneurship, dan visioner.
Model kepemimpinan transaksional dan transformasional
menggambarkan hubungan kepala daerah dengan para pejabat
pemerintah daerah, masyarakat (konstituen), para pendukung
(followers), para pengusaha, dan stakeholders pada saat dan
pascapilkada. Kebijakan Partai membebaskan “mahar politik”
dalam tahap penjaringan dan penyaringan, membuka ruang
tampilnya tokoh masyarakat, tokoh bisnis, tokoh agama, tokoh
pemuda, perempuan, guru/dosen, purnawirawan TNI/Polri,
seniman, budayawan, dan artis nonkader partai terdaftar menjadi
bakal calon kepala daerah. Kebijakan DPP Partai menggratiskan
“biaya transaksi politik”, dalam rekrutmen, akan mendorong
terpilihnya gubernur dan bupati/walikota dan wakilnya yang
kapabel dan akseptabel. Kapabilitas dan besarnya akseptabilitas,
menggambarkan peningkatan kualitas penyelengaraan pilkada
langsung oleh rakyat. | en_US |