Gerakan Protes PetaniI terhadap Perkebunan Rotorejo Kruwuk di Kecamatan Gandusari Kabupaten Blitar Tahun 1964-2016
Abstract
Sosialisme merupakan cita-cita yang dinginkan oleh pemerintah Orde
Lama. Presiden Soekarno mewujudkan cita-cita tersebut dengan mencanangkan
program penataan ulang kepemilikan tanah atau yang disebut dengan landreform.
Dengan adanya program tersebut, diharapkan tidak akan ada lagi kesenjangan
kepemilikan tanah pada masyarakat Indonesia yang mayoritas
bermatapencaharian sebagai petani. Pelaksanaan program tersebut sering kali
mengalami masalah yang menyebabkan terjadinya konflik.
Latar belakang penulisan skripsi ini karena melihat adanya banyak konflik
tanah di Blitar, seperti di Kecamatan Gandusari, khususnya di Desa Gadungan
dan Desa Sumberagung. Permasalahan tanah di desa tersebut melibatkan antara
petani sekitar Perkebunan Rotorejo Kruwuk dengan pihak Perkebunan Rotorejo
Kruwuk. Penyebab terjadinya konflik dimulai sejak adanya ketidakadilan oleh
pihak perkebunan terhadap petani sekitar perkebunan yang telah mendapat
pembagian tanah bekas hak erfpacht dan masuk dalam obyek landreform.
Berdasarkan SK dari Kepala Inspeksi Agraria Djawa Timur No./Agr/13/XI/IIIK.
36/IIM/III tahun 1965, tanah yang masuk obyek landreform dibagikan dan
petani sekitar disuruh membayar ganti rugi kepada pemerintah. Tidak lama
setelah petani sekitar perkebunan membayar ganti rugi, tanah sebesar 49.000 Ha
diambil secara paksa oleh pihak perkebunan beserta bukti pembayarannya.
Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui gerakan protes
petani Desa Gadungan dan Desa Sumberagung terhadap Perkebunan Rotorejo
Kruwuk supaya mereka mendapatkan kembali hak tanah yang selama ini sudah
dicabut pihak perkebunan. Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah dapat
memperkaya penafsiran atau pemahaman tentang kajian sejarah yang membahas
xxiv
gerakan petani dalam konflik agraria. Terkait dengan metode yang digunakan
dalam penulisan skripsi ini adalah dengan menggunakan metode sejarah yang
menurut Louis Gottschalk ada empat tahapan yaitu heuristik, kritik sumber,
interpretasi dan historiografi.
Hasil dari penelitian mengenai sejarah singkat Perkebunan Rotorejo
Kruwuk yang menyebabkan konflik ialah ketidakadilan pihak perkebunan karena
telah mengambil tanah petani secara paksa. Masyarakat sekitar perkebunan sudah
beberapa kali mulai dari tahun 1984 sampai 1998 mengajukan surat kepada
pemerintah Kabupaten Blitar dan ke Kantor Agraria untuk meminta keadilan serta
meminta pengembalian tanah yang dicabut oleh pihak perkebunan. Baru
mendapat respon dari pemerintah pada tahun 2000 yang kemudian diadakan rapat
dengar antara anggota legeslatif, eksekutif, perwakilan dari petani dan perwakilan
dari pihak perkebunan bertemu. Kemudian menghasilkan kesepakatan untuk
menerima dan meneruskan tuntutan petani penggarap lahan.
Tuntutan untuk mendistribusikan lahan tersebut belum juga terrealisasi
karena Perkebunan Rotorejo Kruwuk merasa tanah tersebut masuk kedalam HGU.
Sikap pihak perkebunan yang demikian membuat masyarakat geram untuk terus
menyuarakan ketidak adilan. Sampai pada 31 Desember 2009, HGU milik
Perkebunan Rotorejo Kruwuk telah berakhir belum juga didistribusikan.
Penyebab lain yang membuat masyarakat sekitar geram ialah pihak perkebunan
terus melakukan penggarapan lahan meski sudah tidak memilik HGU.