Kritik Sosial Dalam Novel Batas Karya Akmal Nasery Basral Dan Film Batas Karya Sutradara Rudi Soedjarwo: Kajian Ekranisasi
Abstract
Novel Batas karya Akmal Nasery Basral adalah novel yang telah
difilmkan dengan judul yang sama yang disutradarai oleh Rudi Soedjarwo. Batas
menceritakan tentang kehidupan di perbatasan Indonesia tepatnya di Dusun Ponti
Tembawang Kalimantan Barat. Novel Batas banyak menceritakan peristiwa
mengenai pendidikan dan budaya adat istiadat setempat yang merekontruksi pola
pikir masyarakat. Tidak terpenuhinya kebutuhan sarana dan prasarana sekolah
membuat anak-anak yang menempuh sekolah bahkan tidak memiliki minat dan
semangat untuk melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi dikarenakan biaya hidup
dan biaya transportasi yang digunakan tidak sedikit. Lebih banyak dari mereka
merelakan pendidikannya untuk membantu orang tua mereka mencari nafkah dan
mencukupi kebutuhan harian.
Peneliti menggunakan teori ekranisasi untuk menganalisis perbedaan
antara novel dan film Batas. Analisis kritik sosial juga digunakan dalam penelitian
ini yang bertujuan untuk mendeskripsikan permasalahan sosial yang terjadi di
novel Batas karya Akmal Nasery Basral tersebut. Pendekatan struktural
digunakan dalam penelitian ini berfungsi untuk mengetahui secara murni novel
Batas melalui keterkaitan disetiap unsur-unsurnya. Pendekatan struktural yang
digunakan peneliti untuk analisis antara lain, tema, penokohan dan perwatakan,
latar, alur dan konflik. Tema dibagi menjadi dua yaitu tema minor dan tema
mayor. Tema mayor dalam novel Batas adalah pendidikan masyarakat di daerah
perbatasan serta masalah yang terjadi akibat konstruksi pola pikir masyarakat.
Tema minor dalam novel Batas terdiri dari adat dan istiadat budaya Dayak,
masalah sosial ekonomi daerah perbatasan dan nasionalisme daerah perbatasan
yang memudar. Tema tersebut menggambarkan garis besar perwatakan tokoh
utama dan tokoh bawahannya. Tokoh utama dalam novel tersebut adalah
viii
Jaleswari. Beberapa tokoh tambahan yang berpengaruh paling banyak dalam
berinteraksi dengan tokoh utama, yaitu Otiq, Adeus, Pagau, Borneo, Nawara,
Panglima Adayak, Arifin, dan Ubuh. Latar yang dijadikan cerita dibagi menjadi
latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Latar tempat yang ada dalam novel
tersebut di antaranya Entikong, Sungai Sekayam, Dusun Ponti Tembawang dan
hutan. Latar waktu pada novel tersebut terjadi pada era modern dimana teknologi
sudah berkembang dan sarana komunikasi sudah cukup cepat. Latar sosial yang
terjadi adalah perayaan Cap Go Meh yang dilakukan 15 hari setelah perayaan
Imlek, dan kehidupan masyarakat Suku Dayak. Tahapan alur dibagi menjadi lima
tahapan yaitu: tahap situation; tahap generating circumtances; tahap rising action;
tahap climax; dan tahap denouement. Konflik yang terjadi di antaranya adalah
konflik antara manusia dan manusia yang dominan terjadi kepada tokoh bawahan.
Konflik antara manusia dan masyarakat yang dominan terjadi kepada tokoh
masyarakat Dusun Ponti Tembawang dengan Jomi, masyarakat Desa Kabmol
dengan pendatang, Orang tua di Dusun Ponti Tembawang dengan Adeus,
Jaleswari dengan penduduk Dusun Ponti Tembawang. Konflik ide satu dengan ide
lainnya yang dominan adalah pemikiran Jaleswari dengan filosofi masyarakat
Suku Dayak. Konflik seseorang dengan kata hatinya adalah konflik Jaleswari
dengan pemikirannya, dan Adeus dengan perasaannya.
Ekranisasi digunakan untuk menganalisis proses perubahan yang terjadi
pada novel yang mulanya berupa kata-kata dan kalimat menjadi bentuk gambar
yang bergerak berkelanjutan. Proses ekranisasi terjadi melalui tahap penciutan,
penambahan, dan perubahan bervariasi pada alur, latar, dan tokoh. Melalui
ekranisasi dapat diketahui terjadinya perubahan-perubahan tersebut dan alasan
terjadinya perubahan tersebut. Penciutan pada alur yang tidak divisualisasikan
dalam film terjadi pada bagian peristiwa-peristiwa dalam perjalanan Jaleswari
menuju Dusun Ponti Tembawang. Penciutan pada latar yang tidak
divisualisasikan dalan film terjadi pada latar Vihara Vajra Bumi Kertayuga, Hotel
Entikong, Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB), dan rumah penambang emas di
sepanjang aliran Sungai Sekayam. Penciutan pada tokoh yang tidak ditokohkan
dalam film terjadi pada tokoh Victor, Gale, Jomi, Irfan, Teo, dan Natun.
ix
Penambahan pada alur yang tidak diceritakan dalam novel namun terdapat dalam
film adalah adegan penari tarian adat, beberapa adegan rentetan peristiwa di
perjalanan Jaleswari, dan beberapa adegan di Dusun Ponti Tembawang.
Penambahan pada latar yang tidak diceritakan dalam novel namun
divisualisasikan dalam film adalah latar tempat di rumah Jaleswari dan latar
tempat di kantor Jaleswari. Penambahan pada tokoh bertujuan untuk
menggantikan tugas beberapa tokoh yang mengalami penciutan adalah tokoh
Tucang dan pimpinan perusahaan kantor Jaleswari. Perubahan bervariasi pada
alur, latar, dan tokoh merupakan gabungan dari novel dan film yang
divisualisasikan berbeda. Perubahan bervariasi alur yang terjadi, yaitu adegan
Ubuh yang ditolong oleh Arifin, peristiwa perjalanan Jaleswari menuju Dusun
Ponti Tembawang, adegan Jalung membagikan surat di Dusun Ponti Tembawang,
pembicaraan Jaleswari dan Panglima Adayak, patok batas di perbatasan, laporan
Jaleswari terhadap peristiwa yang dialami oleh Ubuh dan penangkapan Otiq.
Untuk perubahan bervariasi latar tidak ditemukan dalam film maupun novel
karena sebagian latar banyak mengalami penciutan dan terdapat beberapa
tambahan latar. Perubahan bervariasi tokoh terjadi pada tokoh Jalung.
Kritik sosial dalam novel menampilkan beberapa permasalahan sosial
yang kerap terjadi di kehidupan nyata. Kritik sosial masalah ekonomi, kritik sosial
masalah pendidikan, dan kritik sosial masalah moral seringkali kerap dijadikan
media penyampaian kritik kepada masyarakat mengenai permasalahan yang
sungguh terjadi apabila tidak didasari dengan penyelesaian yang nyata. Kritik
sosial masalah ekonomi dalam novel Batas antara lain karena adanya tindak
korupsi, pelintas batas ilegal, penyelundupan barang ilegal, dan sebagainya. Kritik
sosial masalah pendidikan di antaranya adalah kurangnya pengetahuan mengenai
nasionalisme dan kebangsaan, kurangnya sarana dan prasarana sekolah yang
tersedia, tidak adanya transportasi yang mendukung, kurangnya tenaga pendidik,
dan adanya stereotipe negatif dari orang tua. Kritik sosial masalah moral antara
lain, yaitu adanya pelencengan nilai moral yang tidak memperhatikan segi
kemanusiaan dan kritik tersebut bertujuan untuk menyampaikan nilai- nilai
kebenaran serta norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.