Alternatif Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Abstract
Kemajuan dan perkembangan nilai-nilai kehidupan di masyarakat membuat seluruh pihak harus berbenah dalam menyambut dan mempersiapkannya. Pembangunan yang merata dan memiliki arah yang jelas demi kemakmuran masyarakatnya merupakan hal yang ingin dicapai dalam pembangunan. Tujuan mulia yang hendak dicapai dalam pembangunan tetap mengacu pada UUD NRI 1945 alinea ke empat. Pemerintah sebagai tonggak utama dalam pembangunan sejatinya sudah mempersiapkan dengan baik strategi dan cara yang diharapkan akan membawa arah pembangunan ke arah yang lebih baik. Pada masa orde lama dan orde baru, maka kita akan mengenal istilah yang disebut dengan Garis-Garis Besar Haluan Negara yang disingkat dengan GBHN. Sedangkan di era reformasi hingga kini, GBHN sudah tidak berlaku lagi dan digantikan perannya dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional yang disingkat dengan RPJPN.
Keberadaan GBHN dan RPJPN sesungguhnya baik dan merupakan langkah-langkah strategis dari pemerintah sebagai pelaksana dari pembangunan Nasional. Namun seiring berjalannya pemerintahan yang dijalankan saat ini, beberapa pihak menilai bahwa keberadaan dari RPJPN tidak cukup berhasil untuk menunjang pembangunan yang cenderung saat ini tidak jelas dan tidak memiliki target capaian yang ingin dicapai. Sekilas pendapat ini boleh saja dibenarkan karena pada masa pemerintahan orde lama dan orde baru, GBHN memiliki arah dan target pembangunan yang jelas dan sudah tercapai. Keberhasilan dari pembangunan dengan menggunakan sistem GBHN sudah pernah dirasakan dengan berhasilnya Indonesia sebagai negara swasembada pangan yang diraih dengan sistem REPELITA V. Keberhasilan yang diraih oleh pemerintah ketika menggunakan GBHN sebagai haluan inilah kemudian yang diharapkan untuk diterapkan kembali oleh pemerintah yang saat ini sedang berkuasa.
xiv
Akan tetapi dalam perjalanan sistem ketatanegaraannya khususnya dalam sistem pemerintahannya saat ini, untuk kembali menghidupkan GBHN sebagai haluan dalam pembangunan bukanlah langkah yang bijaksana mengingat keadaan bangsa yang sudah tidak sama dengan masa digunakannya GBHN. Perdebatan semakin meruncing saat kelemahan demi kelemahan masing-masing sistem pembangunan antara GBHN dengan RPJPN dikemukakan. Khususnya untuk kembali menghidupkan GBHN langkah awal yang harus ditempuh adalah dengan mengembalikan peran dan kedudukan dari MPR sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan GBHN. Namun hal ini juga bukanlah langkah yang cerdas karena untuk mengembalikan MPR ke posisi semula dikhawatirkan akan merusak sistem ketatanegaraan yang ada saat ini. Kenyataan akan ketidaksesuaian GBHN dengan sistem ketatanegaraan saat ini menjadi langkah yang paling sulit ditempuh apabila ingin kembali menempatkan GBHN sebagai haluan dalam pembangunan.
Sekilas untuk kesesuaian dalam sistem ketatanegaraan memang RPJPN adalah haluan yang paling tepat. Hal itu dikarenakan RPJPN disusun sesuai dengan sistem presidensial yang dianut saat ini. Dalam penyusunannya, RPJPN yang sudah disusun ke dalam suatu bentuk perundang-undangan membutuhkan peran dari lembaga legislatif untuk merumuskan ke dalam undang-undang. Langkah yang demikian nantinya akan membuat RPJPN yang disusun tidak akan mengalami dominan terhadap satu lembaga sebagaimana halnya dalam penyusunan GBHN. Akan tetapi walaupun demikian ternyata ketidaksinkronan pembangunan yang ada di pusat dan daerah menjadi permasalahan utama dalam sistem RPJPN. Ketidaksesuain pembangunan ini nantinya akan berdampak luas salah satunya adalah anggaran.
Maka dari itulah penelitian dalam skripsi ini, mencoba untuk menjawab permasalahan yang ada menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual dan pendekatan historis. Pendekatan-pendekatan tersebut dipilih sebagai langkah untuk mencari tahu dan mengetahui konsep pembangunan yang lebih tepat dalam pembangunan Nasional. Selanjutnya dalam penelitian ini, juga sudah ditemukan kesimpulan bahwa, dalam peraturan perundang-undangan yang ada dan disesuaikan
xv
dengan sistem ketatanegaraan Indonesia saat ini, model pembangunan dengan RPJPN adalah yang paling tepat untuk tetap digunakan, hanya saja memang dalam pelaksanaannya diperlukan pembaharuan dan perbaikan untuk membuat RPJPN lebih stabil dan memiliki kesesuain pembangunan antara pusat dan daerah. Kelemahan ini yang membuat beberapa pihak perlu untuk mengganti RPJPN dan ingin mengembalikannya kepada model GBHN.
Berdasarkan permasalahan yang ada kemudian peneliti ingin mereformulasikan beberapa saran yang pada intinya menitik beratkan pada perubahan peraturan perundang-undangan yang ada yaitu dengan menyusun RPJMN ke dalam suatu bentuk peraturan perundang-undangan yang tujuannya adalah untuk menyesuaikan pembangunan yang selama ini berpatokan kepada visi dan misi dari seorang presiden, menjadi satu kesatuan yang akan diikuti oleh pusat dan daerah sebelum terpilih. Saran tersebut nantinya diharapkan menjadi solusi yang akan menjawab ketidakpuasan terhadap RPJPN dan RPJMN. Selanjutnya saran yang dapat disampaikan oleh penulis adalah dengan membuat sistem pemnbangunan bertahap yang dalam GBHN disebut sebagai REPELITA yang nantinya akan membuat transparansi dalam pemenuhan target pembangunan, yang mana selama ini merupakan kelemahan dari RPJPN karena dianggap tidak memiliki target yang jelas dalam pembangunan yang pada akhirnya pembangunan yang ada hanya disesuaikan kepada presiden sebagai pelaksananya.