Efektivitas Membran Edamame Meningkatkan Ketebalan Epitel pada Penyembuhan Luka Bakar Derajat IIB
Abstract
Luka bakar merupakan masalah kesehatan global yang menyebabkan sekitar 180.000 korban meninggal setiap tahunnya. Menurut data dari Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo (RSCM) pada tahun 2013-2015 prevalensi kejadian luka bakar yang tertinggi yaitu luka bakar derajat III dan yang tertinggi kedua adalah luka bakar derajat IIB. Luka bakar derajat IIB harus mendapat perawatan yang tepat agar tidak berubah menjadi luka bakar derajat III.
Penanganan yang merupakan gold standard dari luka bakar derajat IIB yaitu skin grafting. Namun, skin grafting masih menjadi masalah di Indonesia disebabkan oleh biaya penanganan yang tinggi, perawatan yang lama, dan memerlukan tenaga medis yang terlatih. Oleh karena itu, dokter memberikan pilihan pengobatan luka bakar antara krim silver sulfadiazine dan skin grafting. Masyarakat lebih memilih memakai silver sulfadiazine (SSD) untuk penanganan luka bakar. Namun pengunaan SSD dapat menimbulkan efek berupa pseudo-escar pada permukaan luka, sehingga memperlambat proses penyembuhan. Selain itu, pengaplikasian SSD dalam sehari perlu dilakukan berkali-kali agar luka tetap lembab, sehingga masyarakat lebih tertarik dengan obat-obatan yang berasal dari alam yang dianggap lebih murah dengan efek samping yang sedikit. Salah satu contoh obat-obatan dari alam yang mungkin menjadi alternatif pengobatan luka bakar yakni edamame. Edamame mengandung beberapa bahan aktif yang dapat mempercepat proses penyembuhan luka antara lain isoflavon, vitamin A, C, dan E. Isoflavon memiliki efek mempercepat penyembuhan luka dengan mempercepat laju epitelisasi melalui induksi transforming growth factor-. Salah satu parameter penyembuhan luka bakar yaitu dengan mengukur ketebalan epitel yang terbentuk.
Jenis penelitian ini adalah true experimental laboratories dengan rancangan post test only control group design. Sampel yang digunakan yaitu tikus galur wistar jantan dengan usia 3-4 bulan berat badan 250-300 gram yang memiliki kulit sehat. Jumlah sampel penelitian ini sebanyak 48 tikus yang terbagi menjadi 4 kelompok perlakuan. Kelompok K- diberi membran 0%, K+ diberi silver sulfadiazine, P1 diberi membran dengan konsentrasi 40%, dan P2 diberi membran dengan konsentrasi 60%. Pembuatan luka bakar derajat IIB dengan menempelkan pelat alumunium berukuran 2 x 2 cm yang sebelumnya dipanaskan dalam oven dengan suhu 70 C dan ditempelkan ke punggung tikus selama 5 detik. Setelah luka terbentuk, tikus diberi treatment sesuai dengan kelompok. Tikus diterminasi pada hari ke-4, 10, dan 16 dan diambil jaringan kulit untuk dibuat preparat histopatologi dan diukur ketebalan epitelnya. Pembuatan preparat dengan pewarnaan hematoksilin dan eosin. Pengukuran ketebalan epitel menggunakan software image raster.
Data yang diperoleh dari penelitian ini, rata-rata ketebalan epitel pada hari ke-4 pada membran 0% (K-); SSD (K+); membran 40% (P1); membran 60% (P2) berturut-turut dalam satuan µm yaitu 8,9 +- 2,47; 11,13 +-3,29; 10,25 +-2,58; 14,27 +- 2,07. Pada hari ke-10 yaitu 20,78 +-1,58; 23,52 +-1,62; 26,92 +-0,43; 31,17 +-2,17 dan pada hari ke-16 yaitu 34,33 +-2,17; 36,65 +-1,54; 41,70 +-3,40; 45,20 +-2,29. Ketebalan epitel pada semua kelompok meningkat menandakan terjadinya proses epitelisasi. Namun, pada kelompok membran 0% ketebalan epitel lebih rendah dibandingkan dengan kelompok yang lain. Hal tersebut menunjukkan bahwa terjadi percepatan proses epitelisasi pada kelompok SSD, membran 40%, dan membran 60%. Hal tersebut, menunjukkan bahwa kelompok membran 60% merupakan kelompok yang paling baik dalam penyembuhan luka.
Collections
- UT-Faculty of Medical [1487]