Studi Penggunaan Bronkodilator pada Pasien Rawat Inap dengan PPOK Eksaserbasi Akut di RS. Paru Jember Tahun 2018
Abstract
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyebab utama kematian ketiga di dunia yang ditandai dengan adanya hambatan aliran udara yang bersifat progresif dan berkaitan dengan respon inflamasi kronis pada saluran napas dan atau paru-paru akibat adanya partikel atau gas yang berbahaya. Prevalensi PPOK di Jawa Timur sebesar 3,4%, dan Kabupaten Jember menduduki posisi ketujuh yang paling banyak menderita PPOK. Salah satu golongan obat yang digunakan untuk terapi pada PPOK eksaserbasi akut adalah bronkodilator. Short Acting Beta 2 Agonist (SABA) inhalasi dengan atau tanpa Short Acting Muscarinic Antagonist (SAMA) direkomendasikan sebagai terapi bronkodilator awal untuk mengobati eksaserbasi akut yang ditandai dengan bertambahnya sesak dan produksi sputum, serta adanya perubahan warna sputum. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik pasien, pola pengobatan dan efektivitas pengobatan pada pasien PPOK eksaserbasi akut yang menggunakan terapi bronkodilator pada pasien rawat inap di RS. Paru Jember tahun 2018 berdasarkan parameter sesak, ronki (r/h) dan wheezing (w/h), SaO2.
Desain penelitian ini yaitu penelitian deskriptif non eksperimental dengan pengumpulan data secara retrospektif dari rekam medik pasien mulai tanggal 01 Januari – 31 Desember 2018. Data pasien yang diambil tercatat 34 pasien PPOK yang memenuhi kriteria inklusi untuk analisis deskriptif dan analisis statistik. Analisis deskriptif digunakan untuk mengetahui gambaran karakteristik pasien dan pola pengobatan. Analisis statistik untuk mengetahui efektivitas penggunaan terapi bronkodilator terhadap parameter SaO2, dilakukan dengan menggunakan uji T berpasangan, sedangkan sesak, ronki (r/h) dan wheezing (w/h) menggunakan uji Wilcoxon dengan derajat kepercayaan sebesar 95%. Analisis data dilakukan menggunakan software SPSS 16.0.Pasien PPOK eksaserbasi akut didominasi oleh pasien laki-laki sebanyak 23 orang (67,6%), sedangkan perempuan sebanyak 11 orang (32,4%). Distribusi pasien berdasarkan usia yang tertinggi adalah kelompok umur ≥ 65 tahun (58,8%). Proporsi status pendidikan terbanyak pada kelompok tamat SD/sederajat sebesar 70,6%. Distribusi berdasarkan pekerjaan pasien didominasi oleh petani yaitu sebesar 41,2%, sedangkan pasien yang tidak bekerja sebesar 32,4%, wiraswasta sebesar 20,6%, serta pegawai swasta dan buruh memiliki persentase yang sama yaitu 2,9%.
Bronkodilator yang paling banyak digunakan adalah aminofilin yakni sebanyak 31 pasien. Rute pemberian obat yang paling banyak digunakan yaitu secara inhalasi. Golongan bronkodilator yang paling banyak digunakan adalah agonis β-2, yaitu salbutamol, fenoterol dan terbutalin. Pemberian bronkodilator tunggal yang sering diberikan adalah aminofilin, sedangkan pemberian bronkodilator kombinasi yang paling banyak diberikan adalah 3 kombinasi yakni aminofilin/salbutamol/fenoterol.
Hasil analisis menggunakan uji Wilcoxon berdasarkan parameter sesak menunjukkan nilai p=0,001 (<0,05) dengan nilai rata-rata sebelum dan sesudah penggunaan bronkodilator adalah 1±0 dan 0±0. Hasil analisis untuk parameter r/h adalah p=0,008 dan untuk parameter w/h adalah p=0,011. Nilai rata-rata r/h sebelum dan sesudah penggunaan bronkodilator adalah 0,47±0,861 dan 0,06±0,343, sedangkan nilai rata-rata w/h sebelum dan sesudah penggunaan bronkodilator adalah 0,59±0,925 dan 0,12±0,478. Uji analisis berdasarkan parameter SaO2 menggunakan uji T berpasangan diperoleh nilai p=0,940 dengan nilai rata-rata SaO2 sebelum dan sesudah penggunaan bronkodilator adalah 96,76±1,724 dan 96,74±1,797. Penggunaan bronkodilator dapat memperbaiki parameter sesak, r/h, w/h secara bermakna, sedangkan pada parameter SaO2 tidak terdapat beda bermakna sebelum dan sesudah penggunaan bronkodilator.
Collections
- UT-Faculty of Pharmacy [1469]