Karakterisasi Gunung Api di Wilayah Tapal Kuda Berdasarkan Data Magnetik Satelit Menggunakan Analisis Power Spectrum
Abstract
Gunung api termasuk gunung yang banyak dijumpai di daerah Indonesia karena berada di daerah cincin api pasifik (Ring of Fire). Ring of Fire adalah daerah yang sering mengalami gempa bumi dan letusan gunung api yang mengelilingi cekungan Samudera Pasifik. Tapal Kuda merupakan sebuah nama wilayah di Provinsi Jawa Timur yang merupakan tempat persebaran gunung api aktif. Tapal Kuda dikelilingi oleh beberapa tiga pegunungan besar yaitu Pegunungan Bromo-Tengger-Semeru, Pegunungan Iyang (puncak tertingginya Gunung Argopuro), dan Dataran Tinggi Ijen (puncak tertingginya Gunung Raung). Untuk mengetahui struktur geologi bawah permukaan yang ada di daerah gunung api dapat diidentifikasi dengan menggunakan metode magnetik. Metode magnetik adalah salah satu metode geofisika yang digunakan untuk mengukur variasi medan magnetik di bawah permukaan bumi karena adanya variasi distribusi benda termagnetisasi. Metode magnetik dapat digunakan sebagai metode pendugaan struktur bawah permukaan bumi. Interpretasi data mengenai struktur bawah permukaan bumi dapat diidentifikasi dengan analisis power spectrum yang digunakan untuk memperkirakan kedalaman sedimen. Setiap daerah bumi memiliki diskontinuitas kedalaman sedimen yang berbeda-beda. Hal tersebut disebabkan karena adanya pergerakan antar lempeng tektonik yang menghasilkan gunung, untuk mengetahui kedalaman sedimen dapat menggunakan metode analisis power spectrum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan karakteristik kedalaman sedimen kuarter dan tersier berdasarkan data magnetik satelit WDMAM antara Gunung Lamongan dibandingkan gunung api di Wilayah Tapal Kuda menggunakan analisis power spectrum.
Kajian dalam penelitian ini yaitu dimulai dengan menggunduh data anomali magnetik Wilayah Tapal Kuda dengan titik koordinat 7º35’- 8º40’ LS dan 113º0’-114º30’ BT pada situs http://wdmam.org. Kemudian data anomali magnetik dibuat peta kontur anomali magnetik pada software Surfer 13. Peta kontur anomali magnetik tersebut selanjutnya dilakukan koreksi ke kutub pada software magPick. Hasil peta kontur anomali magnetik yang telah direduksi ke kutub kemudian dilakukan overlay dengan peta topografi Wilayah Tapal Kuda. Hasil overlay kemudian dilakukan sayatan (slicing) penampang lintang. Setiap sayatan selanjutnya akan ditransformasikan ke dalam FFT menggunakan software Matlab
2015 yang kemudian akan menampilkan grafik diskontinuitas pada proses analisis power spectrum.
Hasil dari penelitian ini yaitu nilai anomali magnetik yang diperoleh dari data WDMAM yaitu sebesar -340 nT sampai dengan 220 nT, namun hasil tersebut belum bisa diinterpretasi sehingga perlu dilakukan koreksi reduksi ke kutub. Nilai anomali magnetik setelah direduksi ke kutub sebesar -400 nT sampai dengan 550 nT. Nilai intensitas medan magnetik lebih rendah dari -50 nT diasumsikan sebagai batuan vulkanik yang telah mengalami pelapukan tinggi seperti batuan breksi yang sudah lapuk sedangkan nilai intensitas medan magnetik lebih besar dari 300 nT diasumsikan sebagai defleksi dari batuan beku atau batuan vulkanik. Gunung Lamongan memiliki nilai intensitas medan magnetik sebesar -50 nT sampai dengan 50 nT yang ditandai dengan warna hijau muda dan tua yang tersusun atas material lava, tuff halus lapili, lahar dan breksi gunung api. Proses sayatan (slicing) dilakukan sebanyak 24 sayatan dan didapatkan nilai diskontinuitas yang berbeda-beda. Gunung Lamongan merupakan gunung api yang memiliki usia lebih muda sehingga memiliki nilai diskontinuitas yang dangkal dibandingkan dengan gunung api di sekitarnya. Nilai rata-rata diskontinuitas dangkal sebesar 925 m yang diasumsikan sebagai kedalaman sedimen kuarter tersusun atas alluvial (batu pasir) dan diskontinuitas dalam sebesar 4658,3 m yang diasumsikan sebagai kedalaman sedimen tersier tersusun atas batuan beku dan basal. Sedangkan Gunung Raung-Ijen memiliki nilai diskontinuitas yang dalam dengan nilai diskontinuitas dangkal sebesar 943,9 m dan diskontinuitas dalam sebesar 11446 m. Hal tersebut diasumsikan Gunung Raung merupakan gunung api yang memiliki usia lebih tua dibandingkan dengan gunung api di sekitarnya sehingga gaya isostasi yang diberikan akan semakin besar, maka massa beban yang diberikan akan semakin berat dan diskontinuitas yang diberikan semakin dalam.