dc.description.abstract | Penulisan skrispi ini pada dasarnya dilatarbelakangi oleh adanya perkembangan Bank Syariah di Indonesia. Perkembangan pesat di dunia bisnis dan keuangan telah mendorong perkembangan inovasi transaksi-transaksi Perbankan Syariah. Salah satu produk yang menjadi andalan bank untuk membantu kelancaran usaha nasabah debiturnya adalah dengan menyalurkan pembiayaan yang termasuk dalam fungsi bank yaitu untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Murabahah adalah salah satu cara melakukan penyaluran dana kepada masyarakat yang saat ini paling banyak diminati nasabah di Perbankan Syariah. Pada dasarnya, tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengharuskan akta akad pembiayaan dibuat dengan akta otentik atau pun dengan akta di bawah tangan. Hal ini dibuktikan dengan masih adanya bank-bank yang berprinsip syariah dalam pembuatan akad pembiayaannya masih dibuatkan secara di bawah tangan. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut; Pertama, apakah perjanjian Murabahah yang dibuat di bawah tangan oleh pihak Bank Syariah adalah bentuk pelanggaran prinsip kehati-hatian. Kedua, apakah bentuk perlindungan hukum bagi Bank Syariah selaku Kreditur dalam perjanjian Murabahah yang dibuat di bawah tangan apabila Debitur melakukan wanprestasi. Ketiga, bagaimana upaya penyelesaian sengketa apabila tejadi wanprestasi dalam perjanjian Murabahah yang dibuat di bawah tangan.
Tinjauan pustaka yang dipergunakan meliputi pertama tentang Perlindungan Hukum, meliputi definisi dan bentuk bentuk perlindungan hukum. Kedua tentang Perbankan Syariah, meliputi definisi dan prinsip Perbankan Syariah. Ketiga tentang Akad Murabahah, meliputi definisi dan jenis-jenis akad murabahah. Dan terakhir tentang Akta, meliputi definisi, macam-macam, dan kekuatan pembuktian akta.
Pembahasan pertama mengenai perjanjian Murabahah yang dibuat di bawah tangan oleh pihak Bank Syariah apakah merupakan bentuk pelanggaran prinsip kehati-hatian sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Kedua, Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Bank Syariah Selaku Kreditur Dalam Perjanjian Murabahah yang Dibuat di Bawah Tangan Apabila Debitur Melakukan Wanprestasi. Ketiga, Upaya Penyelesaian Sengketa Apabila Tejadi Wanprestasi Dalam Perjanjian Murabahah Yang Dibuat di Bawah Tangan.
Adapun kesimpulan dalam skripsi ini yaitu Prinsip kehati-hatian (Prudential Principle) adalah adalah prinsip yang dianut pihak bank dalam memberikan pembiayaannya dengan cara lebih hati-hati dalam menentukan nasabahnya yang layak diberi pijaman. Perjanjian Murabahah yang dibuat di bawah tangan oleh pihak Bank Syariah bukan merupakan bentuk pelanggaran prinsip kehati-hatian. Hal ini dikarenakan dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 111/DSN-MUI/IX/2017 tentang Akad Jual Beli Murabahah, bank hanya diwajibkan untuk membuat perjanjian kredit secara tertulis. Dengan kata lain, perjanjian boleh dilakukan di bawah tangan dan tidak harus otentik. Kedua, bentuk perlindungan
hukum bagi Bank Syariah selaku Kreditur dalam perjanjian Murabahah yang dibuat di bawah tangan apabila Debitur melakukan wanprestasi tidak secara tegas diatur di dalam undang-undang syariah. Namun, di dalam perjanjian perbankan, perumusan klausula Cross Default dan Cross Collateral digunakan untuk menjembatani kebutuhan debitur dan usaha bank yang sehat serta mengantisipasi kerugian yang timbul. Dengan kerjasama yang baik antara pihak bank dengan nasabah, khususnya dalam hal adanya perjanjian standar, maka diharapkan akan lebih mengoptimalkan perlindungan hukum, sehingga dapat meminimalisasi masalah yang berkepanjangan di kemudian hari. Ketiga, upaya penyelesaian sengketa apabila tejadi wanprestasi dalam perjanjian Murabahah yang dibuat di bawah tangan, dilakukan dengan melalui jalur non litigasi dan melalui jalur litigasi/Pengadilan Agama. Jalur non litigasi dilakukan secara musyawarah, mediasi, dan Arbitrase Sedangkan jalur litigasi dilakukan melalui lembaga peradilan. | en_US |