dc.description.abstract | Lembaga pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan usaha
dalam bentuk penyediaan dana atau barang atau modal yang termasuk salah satu
dari Lembaga Keuangan. lembaga pembiayaan yang menawarkan model-model
formulasi baru dalam hal penyaluran dana terhadap pihak-pihak yang
membutuhkan seperti, leasing (sewa guna usaha), factoring (anjak piutang), modal
ventura, perdagangan surat berharga, usaha kartu kredit dan pembiayaan
konsumen yang diatur berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009
tentang Lembaga Pembiayaan. Wanprestasi bisa dibedakan dalam kitab undangundang
hukum perdata dan juga dalam lembaga pembiayaan. Jika pihak kreditur
diketahui melakukan penarikan paksa terhadap kendaraan yang menjadi benda
jaminan secara sepihak melalui jasa debt collector sebelum adanya surat putusan
yang dikeluarkan oleh pihak pengadilan dan dinyatakan wanprestasi, dan juga
sebelum melakukan pendaftaran benda jaminan maka kedudukan kreditur
dilarang untuk melakukan eksekusi benda yang menjadi jaminan.
Tinjauan Pustaka dalam penulisan skripsi ini terdiri dari Pengertian
Perjanjian, Syarat sahnya Perjanjian, Unsur-unsur Perjanjian, Pengertian
Perjanjian Kredit, Pengertian Pembiayaan Konsumen, Para pihak Dalam
Pembiayaan Konsumen, Syarat Kententuan Pembiayaan Konsumen, Jenis-jenis
Pembiayaan Konsumen, Kredit Macet, Pengertian Kredit Macet, Penyebab Kredit
Macet, Resiko Kredit Macet.
Pembahasan di skripsi ini terdiri dari penarikan paksa kendaraan yang
dilakukan oleh debt collector dalam pembiayaan konsumen, hal tersebut apakah
dibenarkan secara hukum?, dalam keterlambatan pembayaran angsuran oleh
konsumen dalam pelaksanaan perjanjian pembiayaan konsumen merupakan
bentuk wanprestasi sebagaimana diatur dalam ketentuan KUHPerdata. Atas alasan
tersebut biasanya pihak kreditur mengutus debt collectornya untuk menyita
barang jika tidak berhasil menagih hutang. Suatu hubungan hutang-piutang antara
debitur dan kreditur, atau penerima kredit dan pemberi kredit, umumnya diawali
dengan perjanjian. Seorang pembeli mobil secara kredit ialah debitur yang
melakukan perjanjian jual beli dengan pihak kreditur. Jika debitur wanprestasi
tidak melaksanakan kewajibannya untuk membayar cicilan, maka berdasarkan
alasan wanprestasi, pihak kreditur dapat menarik kembali barang-barang yang
telah diserahkannya kepada debitur. Namun, pembatalan tidak mudah dilakukan
oleh kreditur. Pembatalan perjanjian itu harus dinyatakan oleh putusan
pengadilan. Tanpa adanya putusan pengadilan maka tidak ada pembatalan, dan
tanpa pembatalan maka kreditur tidak dapat menarik barang yang menjadi
jaminan tersebut. Jikapun kreditur tetap memaksakan diri melakukan penarikan,
maka tindakan tersebut merupakan pelanggaran hukum. Karena tindakan menyita
paksa barang oleh kreditur dengan bantuan debt collector adalah pelanggaran
hukum, maka tindakan itu dapat berindikasi tindak pidana pencurian (pasal 362
KUHP), yaitu mengambil barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain
secara melawan hukum. Kreditur tidak dapat sewenang wenang dengan cara paksa
dan kekerasan menarik kendaraan debitur yang telat membayar angsuran tanpa
adanya somasi atau pemberitahuan terlebih dahulu. Hal tersebut juga diperkuat
xiii
dengan Peraturan Kapolri No.8 Tahun 2011 tentang Pengamanan Eksekusi
Jaminan Fidusia. daripada pihak-pihak menyelesaikan permasalahan tersebut
dengan cara kekerasan (merampas kendaraan dengan paksa), ada baiknya
dilakukan perdamaian dengan bernegosiasi. Negosiasi merupakan cara
penyelesaian masalah yang paling sederhana dan damai. Arti kata damai disini
adalah bahwa pihak kreditur dengan pihak debitur mengadakan perdamaian
sendiri di luar pengadilan (Non Litigasi). Pelaksanaan perdamaian tersebut
bergantung pada kedua pihak agar perselisihan tersebut tidak dilanjutkan ke
pengadilan. Perlu dijelaskan lebih lanjut bahwa perdamaian yang dilakukan kedua
belah pihak diluar pengadilan tersebut hanya berkekuatan sebagai persetujuan
kedua belah pihak belaka yang apabila tidak ditaati oleh salah satu pihak maka
harus diajukan melalui proses pengadilan (Litigasi).
Kesimpulan yang diambil dari Penarikan paksa kendaraan oleh Debt
Collector akibat debitur wanprestasi merupakan perbuatan melawan hukum
karena tidak ada Undang-undang yang mengatur adanya penarikan paksa oleh
debt collector akibat debitur wanprestasi. Ketentuan penarikan Kendaraan
bermotor yang menjadi objek jaminan fidusia sudah diatur oleh UUJK apabila
pihak kreditur atau Lembaga Pembiayaan akan melakukan eksekusi atau
pengambilan benda jaminan maka kreditur harus mendaftarkan jaminan fidusia
terlebih dahulu (Pasal 11-15 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia) dan kemudian dibuatkan sertifikat jaminan fidusia yang
memiliki sifat eksekutorial. Dipertegas melalui peraturan kepala Kepala
Kepolisian Negara Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pengamanan Eksekusi
Jaminanan Fidusia. Bahwa Eksekusi Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan
hukum mengikat yang sama dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap, sehingga memerlukan pengamanan dari Kepolisian Negara Republik
Indonesia yang bermaksud dengan Pengamanan Eksekusi adalah tindakan
kepolisian dalam rangka memberi pengamanan dan perlindungan terhadap
pelaksanaan eksekusi, permohonan eksekusi, termohon eksekusi (tereksekusi)
pada saat eksekusi dilaksanakan. Apabila kredit macet tersebut terjadi karena
debitur tidak melaksanakan prestasinya sebagaimana terdapat dalam perjanjian
kredit, maka sebelum melakukan eksekusi barang jaminan, debitur harus terlebih
dahulu dinyatakan wanprestasi, yang dilakukan melalui putusan pengadilan.
Untuk itu kreditur harus harus menggugat debitur atas dasar wanprestasi. Akan
tetapi sebelum menggugat debitur, kreditur harus melakukan somasi terlebih
dahulu yang isinya agar debitur memenuhi prestasinya. Apabila debitur tetap tidak
melaksanakan prestasinya, maka kreditur dapat menggugat debitur atas dasar
wanprestasi, dengan mana apabila pengadilan memutuskan bahwa debitur telah
wanprestasi, maka kreditur dapat melakukan eksekusi jaminan yang diberikan
oleh debitur. Upaya penyelesaian sengketa yang dapat dilakukukan dibagi
menjadi 2 (dua), yaitu penyelesaian sengketa melalui pengadilan (Litigasi) dan
penyelesaian di luar pengadilan (Non Litigasi). | en_US |