Show simple item record

dc.contributor.advisorRACHMAD, Iwan
dc.contributor.advisorFADHILAH, Nurul Laili
dc.contributor.authorPUTRI, Sukma Edy
dc.date.accessioned2020-04-22T01:54:56Z
dc.date.available2020-04-22T01:54:56Z
dc.date.issued2020-01-08
dc.identifier.nimNIM160710101074
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/98378
dc.description.abstractPerolehan hak atas tanah lebih sering dilakukan dengan pemindahan hak, yaitu melalui jual beli. Pengertian jual beli dalam pengertian sehari hari dapat diartikan, dimana seseorang melepaskan uang untuk mendapatkan barang secara sukarela. Jual beli yang dimaksud disini adalah jual beli hak atas tanah dalam praktek disebut jual beli tanah, secara yuridis adalah hak atas tanah bukan tanahnya, memang benar bahwa tujuan membeli hak atas tanah adalah supaya pembeli dapat secara sah mengusai dan menggunakan tanah. Semenjak diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), maka pengertian jual beli tanah bukan lagi suatu perjanjian seperti disebutkan dalam Pasal 1457 KUHPerdata melainkan perbuatan hukum pemindahan hak untuk selama lamanya yang bersifat tunai, dan kemudian diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang menentukan bahwa jual beli tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT. Jual beli tanah harus dilakukan dihadapan PPAT hal ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah. Tidak dapat dipungkiri dalam kehidupan masyarakat sehari-hari masih banyak jual beli tanah yang dilakukan anatara penjual dan pembeli tanpa campur tangan (PPAT), khususnya masyarakat di pedesaan yang masih awam akan hukum. Pelaksanaan jual beli tanah di pedesaan pada umumnya masih banyak dilakukan dengan surat jual beli tanah yang dibuat secara di bawah tangan dihadapan Kepala Desa. Rumusan masalah yang akan dibahas adalah : (1) Apakah bukti jual beli tanah tanpa adanya akta jual beli tanah dapat dipergunakan sebagai alat bukti kepemilikan hak atas tanah ? dan (2) Bagaimanakah kekuatan hukum kepemilikan hak atas tanah melalui jual beli tanah tanpa adanya akta jual beli ?. Metode penelitian dalam penulisan skripsi ini menggunakan tipe penelitian yuridis normatif. Pendekatan masalah menggunakan pendekatan perundang-undangandan pendekatan konseptual, dengan bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan bahan non hukum. Analisa bahan penelitian dalam skripsi ini menggunakan analisis normatif kualitatif. Guna menarik kesimpulan dari hasil penelitian dipergunakan metode analisa bahan hukum deduktif. Berdasarkan hasil pembahasan diperoleh hasil bahwa, Alat bukti yang diakui keabsahan hukumnya adalah akta otentik yaitu akta yang dibuat oleh dan dihadapan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sedangkan alat bukti pembayaran melalui kwitansi atau surat keterangan kepala desa merupakan alat bukti yang kekuatan pembuktiannya dikategorikan sebagai akta di bawah tangan. Perbuatan hukum jual beli tanah hanya dengan bukti surat keterangan kepala desa atau kwitansi sebagai akta di bawah tangan, adalah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pengalihan tanah dari pemilik kepada penerima disertai dengan penyerahan yuridis (juridische levering), yaitu penyerahan yang harus memenuhi formalitas undang-undang, meliputi pemenuhan syarat dilakukan melalui prosedur telah ditetapkan, menggunakan dokumen, dibuat oleh/di hadapan PPAT. Tata cara terbitnya akta PPAT sebagai akta otentik sangatlah menentukan, karenanya apabila pihak yang berkepentingan dapat membuktikan adanya cacat dalam bentuknya karena adanya kesalahan atau ketidaksesuaian dalam tata cara pembuatannya maka akan mengakibatkan timbulnya risiko bagi kepastian hak yang timbul atau tercatat atas dasar akta tersebut. Kekuatan pembuktian alat bukti surat keterangan dari kepala desa dalam jual beli tanah merupakan bukti-bukti tertulis atas suatu transaksi dalam jual beli. Surat keterangan dari kepala desa merupakan alat bukti dibawah tangan, yang pembuktiannya hanya bersifat formil saja, tidak sempurna seperti akta otentik yang pembuktiannya bersifat formil dan materiil. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikemukakan saran sebagai berikut : Hendaknya masyarakat dapat menyadari akan arti penting prosedur jual beli hak atas tanah, sebagai bukti yang kuat apabila terjadi sengketa sebagaimana contoh kasus. Prosedur jual beli dalam hal ini harus dilaksanakan di pejabat yang berwenang. pemerintah dapat melakukan sosialisasi terhadap prosedur pelaksanaan jual belik hak atas tanah, sebab pada kenyataannya khususnya pada masyarakat di pedesaan prosedur jual beli tanah yang banyak terjadi adalah dengan cara di bawah tangan, sehingga merugikan pembeli di kemudian hari jika timbul persengketaan. Perlu pembinaan dan sosialisasi secara terpadu dan terus menerus tentang pendaftaran tanah khususnya prosedur pelaksanaan jual beli tanah kepada masyarakat khususnya Kepala Desa beserta perangkatnya oleh Kantor Badan Pertanahan dan Kantor Kecamatan untuk terciptanya kepastian hukum ditengah-tengah masyarakat dan meningkatkan pemahaman Kepala Desa dan perangkatnya tentang Hukum Pertanahan Nasional.en_US
dc.language.isoInden_US
dc.publisherFAKULTAS HUKUMen_US
dc.subjectHak Atas Tanahen_US
dc.subjectAkta Jual Belien_US
dc.subjectKekuatan Hukumen_US
dc.titleKekuatan Hukum Kepemilikan Hak Atas Tanah Tanpa Adanya Akta Jual Belien_US
dc.typeThesisen_US
dc.identifier.prodiHukum
dc.identifier.kodeprodi0710101


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record