dc.description.abstract | Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan membawa suatu konsekuensi dalam pengaturan tentang kewajiban bahan baku 20% (dua puluh perseratus) dari kebun sendiri sehingga beberapa ketentuan dalam Permentan Nomor 98 Tahun 2013 harus disesuaikan. Sebelumnya dalam ketentuan tersebut masih dimungkinkan untuk melakukan kegiatan usaha meskipun tidak mempunyai kebun sendiri. Namun, dengan persyaratan yaitu, di sekitar pabrik kelapa sawit dimaksud belum berdiri pabrik kelapa sawit yang menampung tandan buah segar dari pekebun swadaya dan tidak tersedianya lahan untuk penyediaan paling rendah 20 % (dua puluh perseratus) bahan baku dari kebun sendiri. Pengaturan tentang kewajiban bahan baku 20% (dua puluh perseratus) dari kebun sendiri dalam Pasal 45 Ayat (2) huruf b UU Perkebunan, Permentan Nomor 29 Tahun 2016 dan Permentan Nomor 21 Tahun 2017 menunjukkan bahwa pabrik pengolahan hasil perkebunan, termasuk pabrik kelapa sawit, dalam melakukan kegiatan usaha harus mempunyai kebun sendiri untuk memenuhi sekurang-kurangnya 20%(dua puluh perseratus) dari keseluruhan bahan baku yang dibutuhkan. Namun demikian apakah kewajiban pemenuhan 20% (dua puluh perseratus) bahan baku tersebut telah memberikan kepastian usaha bagi pelaku usaha perkebunan, serta apakah konsekuensi hukum bagi perusahaan yang tidak menjalankan ketentuan tersebut
Rumusan masalah yang dikemukakan dalam skripsi ini adalah: Pertama, adakah konflik norma dalam pengaturan pabrik kelapa sawit untuk memenuhi kewajiban bahan baku 20% dari kebun sendiri. Kedua, apa akibat hukum pabrik kelapa sawit yang tidak menjalankan kewajiban pemenuhan 20% bahan baku dari kebun sendiri. Ketiga, bagaimana pengaturan ke depan tentang kewajiban pabrik kelapa sawit untuk memenuhi 20% bahan baku.
Metode yang digunakan dala penulisan skripsi ini adalah yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach) dan konseptual (conseptual approach). Tinjauan pustaka yang menjelaskan uraian sistematik tentang pengertian-pengertian yuridis mengenai perusahaan, perkebunan, macam-macam perusahaan, kewajiban perusahaan perkebunan, dan tentang kelapa sawit.
Hasil dari pembahasan atas rumusan masalah yang dikaji dalam skripsi ini yaitu untuk rumusan masalah pertama, dengan menelaah Undang-Undang Perkebunan, Permentan Nomor 98 Tahun 2013, Permentan Nomor 29 Tahun 2016, dan Permentan Nomor 21 Tahun 2017 maka tidak ada konflik hukum mengenai pengaturan kewajiban pemenuhan 20% dari kebun sendiri. Rumusan masalah yang kedua, dengan mengacu pada Pasal 48 ayat (2) dan ayat (3) Permentan Nomor 21 Tahun 2017, akibat hukum kepada pabrik kelapa sawit yang tidak menjalankan kewajiban pemenuhan minimal 20% dari kebun sendiri adalah mendapat peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali dalam tenggang waktu 4 (empat) bulan untuk mengusahakan kebun sendiri. Apabila peringatan ke-3 (ketiga) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dipenuhi, Izin Usaha Perkebunan Untuk Pengolahan (IUP-P atau IUP) dicabut dan hak atas tanah diusulkan kepada instansi yang berwenang atau pemilik untuk dibatalkan. Rumusan masalah yang ketiga menjelaskan tentang efisiensi dan efektifitas pengaturan mengenai kewajiban 20% dari kebun sendiri. | en_US |