dc.description.abstract | Berdasarkan hasil penelitian diperoleh pembahasan bahwa, Salah satu jalan keluar dalam pembayaran utang yaitu, menggunakan lembaga kepailitan dalam penyelesaian sengketa. Penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan pembagian harta debitor, namun kreditor yang cukup banyak sedangkan harta yang dimiliki oleh debitor tidak cukup untuk melunasi pembayaran utang terhadap kreditornya, berbeda dengan apabila kreditornya hanya satu, dimana kreditor dapat mengajukan gugatanya di Pengadilan Negeri. Pengadilan Niaga merupakan suatu badan peradilan yang khusus menangani permasalahan kepailitan, pengadilan tersebut adalah badan peradilan di Indonesia yang digunakan untuk menyelesaikan masalah sengketa khususnya pelaku usaha yang berhubungan dengan utang piutang yang bukan karena wanprestasi. Permasalahan yang banyak dihadapi dalam menyelesaikan dan memutus suatu perkara kepailitan. Hakim yang berwenang dalam Pengadilan Niaga tersebut, merupakan hakim niaga yang harusnya tanggap dalam menangani dan memahami masalah kepailitan, serta hakim yang menangani awal kasus perdamaian tersebut. Berdasarkan hasil kesimpulan diperoleh hasil bahwa Pertama Bentuk perlindungan hukum kepada kreditur sebagai penerima pembayaran bunga simpanan nasabah yang dirugikan akibat debitur dinyatakan pailit, bahwa kreditor untuk mendapatkan pelunasan hutang dari debitor dijamin oleh undang-undang yang tertuang di dalam ketentuan Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata, dimana
semua harta maupun yang baru akan ada dikemudian hari menjadi jaminan untuk segala utang-utangnya bagi semua kreditor-kreditornya. Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa suatu pernyataan pailit pada hakekatnya bertujuan untuk mendapatkan suatu penyitaan umum atas kekayaan si debitor yaitu segala harta benda si debitor untuk kepentingan semua kreditornya sehingga kreditor dapat memperoleh kembali haknya. Kedua, Akibat hukum pembatalan putusan perdamaian dalam perjanjian pembayaran bunga simpanan, bahwa Apabila debitor dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga, maka timbul akibat hukum yang sangat merugikan baginya. Akibat hukumnya yaitu batalnya akta perdamaian yang telah disahkan akan menjadi batal demi hukum dan debitur dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga sejak tanggal pernyatakan pailit tersebut, maka akan timbul akibat hukum bagi debitur yaitu kehilangan haknya dalam pengurusan dan pemberesan harta kekayaanya yang termasuk ke dalam harta pailit. Sejak dinyatakan pailit pengurusan dan pemberesan hartanya beralih ke tangan kurator atau Balai Harta Peninggalan. Ketiga, Ratio decidendi (pertimbangan hukum) hakim dalam putusan Nomor 16/Pdt.Sus-Pailit/2017/PN.Niaga Smg yang mengabulkan gugatan pemohon seluruhnya didasarkan pada ketentuan Pasal 170 ayat (1) jo. Pasal 291 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang serta perundangundangan yang bersangkutan, majelis hakim menyatakan mengabulkan permohonan termohon seluruhnya, menyatakan KSP Mitradana sebagai (debitor) dinyatakan pailit karena telah lalai memenuhi isi Putusan Perdamaian dalam perjanjian pembayaran bunga simpanan yang telah di putus oleh Pengadilan Niaga Semarang pada tanggal 4 April 2017 dan majelis hakim menyatakan batal demi hukum Proposal Perdamaian/Akta Perdamaian tersebut. Dengan demikian ditunjuk hakim pengawas berikut kurator kepailitan untuk melakukan pengawasan, dan pemberesan dalam prkara kepailitan tersebut. Bertitik tolak kepada permasalahan yang ada dan dikaitkan dengan kesimpulan di atas, dapat diberikan beberapa saran, Pertama, Hendaknya pembarayan utang kepada kreditor wajib memperhatikan golongan kreditor. Kreditor yang mempunyai hak yang diistimewakan, termasuk di dalamnya yang hak istimewanya dibantah harus diutamakan. Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, pembayarannya dapat diambilkan dari hasil penjualan benda terhadap mana mereka mempunyai hak istimewa atau yang diagunkan kepada mereka. Bila ternyata hasil penjualan harta pailit debitor tidak mencukupi untuk membayar seluruh piutang Kreditor yang didahulukan maka untuk kekurangannya mereka berkedudukan sebagai kreditor konkuren. Kedua, Pemerintah perlu melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, pada Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dapat menimbulkan multitafsir, hal ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Untuk itu disarankan untuk mengganti dengan kata yang lebih tegas, atau menghilangkan kata “seolah-olah” dalam menghindari adanya ketidakpastian hukum bagi Hakim yang akan memutuskan maupun bagi kreditur. | en_US |