dc.description.abstract | Tindak pidana adalah perilaku yang menyimpangi kaidah-kaidah dan
norma-norma yang berlaku di masyarakat yang berujung pada suatu pelanggaran,
bahkan suatu kejahatan. Pada dasarnya, seseorang yang telah melakukan suatu
tindak pidana dapat dijatuhi sanksi pidana, apabila perbuatannya memenuhi
unsur-unsur tindak pidana. Salah satu unsur yang harus dipenuhi agar seseorang
dapat dikatakan telah melakukan tindak pidana adalah adanya kemampuan
bertanggungjawab. Dalam KUHP Indonesia tidak didapati rumusan yang tegas
mengenai kemampuan bertanggungjawab, namun dijelaskan dalam Pasal 44
KUHP rumusan keadaan mengenai kapan seseorang tidak dapat dijatuhi hukuman
pidana karena terdapat ketidakmampuan bertanggungjawab pada diri pelaku
tindak pidana berupa jiwa yang cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena
penyakit. Dalam hal penerapan Pasal 44 KUHP dalam pemeriksaan di sidang
pengadilan, salah satu contoh kasusnya terdapat dalam Putusan Nomor
141/Pid.B/2010/PN. Kbm. atas nama Terdakwa S, ketentuan dalam pasal ini
dikesampingkan. Meskipun dalam pemeriksaan di sidang pengadilan didapati
fakta yang mengungkapkan bahwa Terdakwa S mengalami gangguan mental,
yang mana jika dibenturkan dengan Pasal 44 KUHP harusnya tidak dapat
dipidana, majelis hakim yang mengadili perkara tetap menjatuhkan hukuman
pidana pada Terdakwa S.
Tujuan penulisan skripsi ini ialah pertama, untuk menganalisis penerapan
Pasal 44 KUHP pada tindak pidana persetubuhan terhadap anak dalam Putusan
Nomor 141/Pid.B/2010/PN.Kbm. kedua, untuk menganalisis pertimbangan hakim
dalam menjatuhkan sanksi pidana pada Putusan Nomor 141/Pid.B/2010/PN.Kbm.
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan
menggunakan tipe penelitian hukum yang bersifat yuridis normatif. Pendekatan
masalah yang digunakan untuk menyelesaikan isu hukum yang terdapat dalam
skripsi ini ialah pendekatan undang-undang atau statute approach dan pendekatan
konseptual atau conceptual approach. Sumber-sumber hukum yang digunakan
dalam penelitian hukum ialah sumber-sumber hukum yang berasal dari bahan
primer dan bahan hukum sekunder.
Hasil penelitian dari skripsi ini adalah penerapan Pasal 44 KUHP Pada
Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak Dalam Putusan Nomor
141/Pid.B/2010/PN.Kbm tidak tepat karena adanya ketidakmampuan
bertanggungjawab dalam kualifikasi Pasal 44 KUHP bukan hanya sebatas
kemampuan berfikir dari pelaku tindak pidana, melainkan juga didasarkan pada
keadaan dan kemampuan jiwa yang ada pada diri si pelaku tindak pidana, yang
hal tersebut meliputi memampuan pelaku tindak pidana untuk menyadari
perbuatannya sebagai suatu perbuatan yang tidak diperbolehkan oleh masyarakat,
Jiwa pelaku tindak pidana harus sedemikian rupa sehingga dia mengerti atau
menginsyafi nilai dari perbuatannya, selain itu juga tidak cacat dalam
pertumbuhan, berupa gagu, idiot, imbecile, dan sebagainya. Sedangkan pengidap
retardasi mental tidak hanya bermasalah pada kemampuan intelektualnya, tetapi
juga berpengaruh pada kemampuan dirinya untuk menilai suatu perbuatannya
sebagai bagian dari masyarakat, apakah perbuatan yang dilakukannya sesuai
dengan kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Pengidap retardasi mental juga mengalami masalah menentukan atau menginsyafi segala bentuk
perbuatannya apakah merupakan suatu perbuatan tercela atau buruk, ataukah
perbuatan yang dipandang sejalan dengan norma-norma yang ada di masyarakat
serta pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana pada Putusan Nomor
141/Pid.B/2010/PN.Kbm kurang cermat dan mendalam karena terdapat beberapa
fakta-fakta penting penting yang terungkap di persidangan terkait kondisi
Terdakwa dan korban yang membawa pengaruh yang cukup besar atas terjadinya
suatu tindak pidana yang seakan-akan tidak dijadikan bahan pertimbangan untuk
menjatuhkan sanksi pidana.
Saran dari penulis terkait permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini
ialah majelis hakim hendaknya menggali lebih dalam atas hal-hal di luar ranah
hukum yang muncul dari setiap persidangan yang dipimpin, dalam hal ini sangat
dimungkinkan memanggil ahli untuk kemudian dimintai keterangan yang sejelasjelasnya guna memutus suatu perkara dengan seadil-adilnya. Selain itu, Majelis
hakim yang dipandang sebagai “Wakil Tuhan” diharapkan lebih cermat dan teliti
serta menggali sedalam-dalamnya segala aspek dan hal-hal yang ada dan
diperoleh selama proses persidangan di pengadilan guna mendapatkan pandangan
yang lebih luas untuk mempertimbangkan hal-hal yang digunakan untuk memutus
suatu perkara, sehingga majelis hakim tetap dipandang mulia, berintegritas, serta
menjunjung tinggi keadilan bagi masyarakat. | en_US |