dc.description.abstract | Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut sebagai Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan rakyat daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Atas dasar itulah adanya Undang-undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 yang mengatur tentang tata cara pemilu dan aturan tentang pemilu dan yang menjadi polemik yang ada yaitu berada pada pasal 240 ayat (1) huruf g yang menyatakan bahwa bagi mantan narapida korupsi yang ingin maju atau menjadi calon legislatif maka mereka harus bebas dari hukumannya dan cukup mengumumkannya secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan narapidana. Komisi Pemilihan Umum merasa keberatan atas pasal dan mengeluarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 yang berisi larangan bagi mantan narapidan korupsi untuk mengikuti calon legislatif yang diatur dalam pasal 4 ayat (3) dimana dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka, tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi. Setelah adanya polemik akhirnya Mahkamah agung menguji materii peraturan KPU tersebut. Hasil dari uji materi tersebut akhirnya Mahkamah Agung mengeluarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 46 P/HUM/2018. Isi dari putusan Mahkamah Agung itu sendiri yaitu menolak peraturan Komisi Pemilihan Umum yang diuji materi dan kembali lagi pada Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Artinya Mahkamah Agung berpedoman pada undang-undang tersebut dalam mengeluarkan putusan. | en_US |