dc.description.abstract | Asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan acapkali menjadi batu uji dalam pelaksanaan
setiap pengajuan gugatan terutama in casu gugatan perceraian (baik cerai talak maupun cerai
gugat) dengan gugatan pembagian harta bersama. Landasan dapat diajukannya gugatan kumulatif
adalah Pasal 66 ayat (5) untuk Permohonan Talak dan untuk Gugat Cerai Pasal 86 ayat (1) UU
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Praktiknya peradilan sederhana, cepat dan biaya
ringan kontradiksi dengan kenyataan. Akumulasi gugatan juga timbul sejumlah persoalan antara
lain; kepentingan suami/isteri yang menginginkan untuk segera mengesahkan perkawinan barunya,
gugatan harta bersama merupakan assesoir terhadap gugatan perceraian sehingga jika acapkali
gugatan harta bersama tidak puas maka gugatan perceraiannya juga tidak bisa inkracht dan
masuknya pihak ketiga dalam perkara kebendaan dipandang memperumit pemeriksaannya. Dari
perspektif hakim terdapat perbedaan antara lain; hakim mempertimbangkan hajah dloruriyah
atau kepentingan mendesak salah satu pihak untuk segera diputuskan ikatan perkawinannya, cara
pemeriksaan perkara perceraian berbeda dengan sengketa kebendaan in casu harta bersama sehingga
tidak dapat disatukan, hakim justru menilai aturannya sebagai dasar kebolehan memeriksa perkara
harta bersama setelah putusan perceraian sehingga gugatannya ditolak. Saran penulis bahwa hakim
tidak boleh menolak gugatan kumulasi yang dasarnya sudah ada dan tersedia dalam undang-undang,
kepentingan dan maslahat harus dikembalikan kepada penggugat/pemohon karena gugatan kumulasi
bersifat opsional dan merdeka, demi keadilan jika gugatan kumulasi diterima, hakim seyogyanya
tidak memutuskan secara verstek, hendaknya dilakukan pembuktian secara seimbang berdasarkan
asas audi et alteram partem, persoalan tidak dapat dipenuhinya asas peradilan sederhana, cepat
dan biaya ringan adalah faktor resiko terhadap pilihan yang dibuat oleh pihak yang mengajukan. | en_US |