Show simple item record

dc.contributor.advisorJAYUS
dc.contributor.advisorATIKAH, Warah
dc.contributor.authorPUTRA, Gagah Chriswantara
dc.date.accessioned2019-04-23T07:07:13Z
dc.date.available2019-04-23T07:07:13Z
dc.date.issued2019-04-23
dc.identifier.nimNIM140710101010
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/90609
dc.description.abstractTanah sebagai karunia Tuhan yang menempati kedudukan penting, yang mana hal itu merupakan bagian dari kekayaan alam yang hakiki dimana tanah tersebut juga memiliki kedaulatan hukum di atas negara. Dengan adanya tanah yang merupakan kekayaan alam tersebut, tanah bisa menjadikan ladang kemakmuran bagi masyarakat, tetapi harus adanya batasan penggunaannya sesuai dengan aturan yang berlaku. Sehubungan dengan hal tersebut, manusia pada hakikatnya memiliki hak yang timbul secara ilmiah, sesuai dengan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria yang berisi bahwa manusia yang tinggal di bumi ini otomatis mendapatkan hak dan wewenangnya untuk memanfaatkan segala sesuatu yang ada di atas tanah agar digunakan sebaik-baiknya demi kelangsungan kehidupan. Tanah yang menjadi kebutuhan dalam masyarakat, pengguna haknya harus dalam tatanan kewajaran. Perlu diketahui, tanah yang merupakan kebutuhan pokok manusia dalam menjalankan kehidupan, dalam hal ini agar dapat dipahamai dalam mendapatkan suatu tanah yang sah harus adanya batasan dalam kepemilikannya yang mana semua diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Proses pengadaan tanah dapat menjadi permasalahan kompleks karena didalamnya memiliki beberapa tahapan teknis yang harus dijalankan oleh stakeholder. Perlu dicermati bahwasannya pembangunan untuk kepentingan umum pada dasarnya banyak terdapat permasalahan dalam pengalihan hak milik tanah dari masyarakat kepada negara. Permasalahan timbul karena adanya berbagai bentrokan kepentingan. Di satu sisi, pemerintah membutuhkan lahan untuk pembangunan fisik, di sisi lain masyarakat membutuhkan lahan untuk pemukiman maupun sebagai sumber mata pencaharian. Apalagi dalam proses pengadaan tanah masih terdapat kendala teknis menyangkut pemberian ganti kerugian bagi yang berhak, karena dianggap dan dinilai belum adil. Tidak hanya itu, namun ketidaksesuaian antara praktek dilapangan dengan aturan perundang-undangan juga sering terjadi. Melihat dari pernyataan dan penemuan kasus yang Penulis dijabarkan diatas, terdapat 2 (dua) pokok permasalahan yang dapat merealisasikan apa yang ingin Penulis bahas dalam skripsi ini. Pertama mengenai persesuaian pemberian ganti kerugian terhadap proyek pembangunan Tol Gempol-Pasuruan yang berdampak pada masyarakat dengan aturan pengadaan tanah di Indonesia. Dan yang kedua mengenai proses pelaksanaan ganti kerugian dalam pengadaan tanah terhadap pembangunan proyek Tol Gempol-Pasuruan. Adapun metode penelitian yang Penulis terapkan adalah yuridis normatif, artinya permasalahan yang diangkat, dibahas dan diuraikan dalam penelitian ini difokuskan dengan menerapkan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif. Dari 2 (dua) rumusan masalah yang telah Penulis uraikan diatas, berikut pembahasan dari skripsi ini. Pada Rumusan Masalah pertama, Penulis menemukan beberapa kasus dilapangan terkait denagan pengadaan tanah tersebut. Pada kasus pertama mengenai Badan Pertanahan Nasional Daerah Kab. Pasuruan dan warga yang berada dikelurahan tembokrejo, kecamatan purworejo, Pasuruan yang tidak ada kata sepakat dalam pembebasan lahan dan permasalahan terkait penunjukkan tim penilai/appraisal yang dilakukan oleh Kementerian PUPR. Permasalahan kedua mengenai warga santri yang terkena imbas dalam proyek pembangunan tol, pada permasalahan ini terdapat pelanggaran terhadap aturan jalan dalam mengangkut beban/muatan pada jalan desa. Sama halnya pada permasalahan ketiga yaitu siswa pelajar dari SD Negeri Pleret I yang terkena imbas pengerjakan proyek yang mengakibatkan gangguan kesehatan dan psikologi murid-murid SD tersebut. Dan Pada Rumusan Masalah kedua menguraikan tentang proses pelaksanaan ganti kerugian pengadaan tanah, dalam prakteknya terdapat beberapa tidak sesuai dengan aturan yang dijelaskan. Namun inti dari pelaksanaan tersebut masih sama. Sesuai dengan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 yang berawal dari beberapa tahapan yaitu perencanaan, persiapan, pelaksanaan dan penyerahan hasil. Dari Pembahasan diatas maka Penulis dapat memberikan kesimpulan pada pembahasan ke-1 yang mana dalam kasus pertama ini Penulis menguraikan permasalahan diatas mengenai ketidaksesuaian dengan aturan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 bahwa dalam melakukan sosialisasi terdapat nilai ganti kerugian yang diterima oleh warga untuk mencapai kesepakatan, dan yang menunjuk appraisal ialah Lembaga Pertanahan sesuai dengan Pasal 31 UndangUndang Nomor 2 Tahun 2012 bukan Kementerian PUPR. Selanjutnya Menurut Penulis, hal perlu dicermati dari kasus kedua dan ketiga adalah bukan ganti rugi dalam bentuk materi melainkan dilihat dari rasa kekecewaan warga yakni sisi immateriil mereka. Maka dari itu melihat dari kasus diatas penerapan fungsi sosial dalam pengadaan tanah ini diperlukan serta ganti kerugian immateriil juga dipandang penting. Sedankan kesimpulan untuk pembahasan ke-2 adalah Proses pelaksanaan ganti kerugian terdapat pada Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 yang dimulai dari inventerisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah, penilaian ganti kerugian, musyawarah mengenai penetapan ganti kerugian, penetapan ganti kerugian, dan kemudian dilakukannya pelepasan tanah instansi.en_US
dc.language.isoiden_US
dc.relation.ispartofseries140710101010;
dc.subjectPengadaan Tanahen_US
dc.subjectTol Gempol - Pasuruanen_US
dc.titlePengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Dalam Proyek Pembangunan Tol Gempol - Pasuruanen_US
dc.typeUndergraduat Thesisen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record