dc.description.abstract | Tanah sebagai karunia Tuhan yang menempati kedudukan penting, yang
mana hal itu merupakan bagian dari kekayaan alam yang hakiki dimana tanah
tersebut juga memiliki kedaulatan hukum di atas negara. Dengan adanya tanah
yang merupakan kekayaan alam tersebut, tanah bisa menjadikan ladang
kemakmuran bagi masyarakat, tetapi harus adanya batasan penggunaannya sesuai
dengan aturan yang berlaku. Sehubungan dengan hal tersebut, manusia pada
hakikatnya memiliki hak yang timbul secara ilmiah, sesuai dengan Pasal 4 ayat
(2) Undang-Undang Pokok Agraria yang berisi bahwa manusia yang tinggal di
bumi ini otomatis mendapatkan hak dan wewenangnya untuk memanfaatkan
segala sesuatu yang ada di atas tanah agar digunakan sebaik-baiknya demi
kelangsungan kehidupan. Tanah yang menjadi kebutuhan dalam masyarakat,
pengguna haknya harus dalam tatanan kewajaran.
Perlu diketahui, tanah yang merupakan kebutuhan pokok manusia dalam
menjalankan kehidupan, dalam hal ini agar dapat dipahamai dalam mendapatkan
suatu tanah yang sah harus adanya batasan dalam kepemilikannya yang mana
semua diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Proses
pengadaan tanah dapat menjadi permasalahan kompleks karena didalamnya
memiliki beberapa tahapan teknis yang harus dijalankan oleh stakeholder. Perlu
dicermati bahwasannya pembangunan untuk kepentingan umum pada dasarnya
banyak terdapat permasalahan dalam pengalihan hak milik tanah dari masyarakat
kepada negara. Permasalahan timbul karena adanya berbagai bentrokan
kepentingan. Di satu sisi, pemerintah membutuhkan lahan untuk pembangunan
fisik, di sisi lain masyarakat membutuhkan lahan untuk pemukiman maupun
sebagai sumber mata pencaharian. Apalagi dalam proses pengadaan tanah masih
terdapat kendala teknis menyangkut pemberian ganti kerugian bagi yang berhak,
karena dianggap dan dinilai belum adil. Tidak hanya itu, namun ketidaksesuaian
antara praktek dilapangan dengan aturan perundang-undangan juga sering terjadi.
Melihat dari pernyataan dan penemuan kasus yang Penulis dijabarkan
diatas, terdapat 2 (dua) pokok permasalahan yang dapat merealisasikan apa yang
ingin Penulis bahas dalam skripsi ini. Pertama mengenai persesuaian pemberian
ganti kerugian terhadap proyek pembangunan Tol Gempol-Pasuruan yang
berdampak pada masyarakat dengan aturan pengadaan tanah di Indonesia. Dan
yang kedua mengenai proses pelaksanaan ganti kerugian dalam pengadaan tanah
terhadap pembangunan proyek Tol Gempol-Pasuruan. Adapun metode penelitian
yang Penulis terapkan adalah yuridis normatif, artinya permasalahan yang
diangkat, dibahas dan diuraikan dalam penelitian ini difokuskan dengan
menerapkan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.
Dari 2 (dua) rumusan masalah yang telah Penulis uraikan diatas, berikut
pembahasan dari skripsi ini. Pada Rumusan Masalah pertama, Penulis
menemukan beberapa kasus dilapangan terkait denagan pengadaan tanah tersebut.
Pada kasus pertama mengenai Badan Pertanahan Nasional Daerah Kab. Pasuruan
dan warga yang berada dikelurahan tembokrejo, kecamatan purworejo, Pasuruan
yang tidak ada kata sepakat dalam pembebasan lahan dan permasalahan terkait
penunjukkan tim penilai/appraisal yang dilakukan oleh Kementerian PUPR.
Permasalahan kedua mengenai warga santri yang terkena imbas dalam proyek
pembangunan tol, pada permasalahan ini terdapat pelanggaran terhadap aturan
jalan dalam mengangkut beban/muatan pada jalan desa. Sama halnya pada
permasalahan ketiga yaitu siswa pelajar dari SD Negeri Pleret I yang terkena
imbas pengerjakan proyek yang mengakibatkan gangguan kesehatan dan
psikologi murid-murid SD tersebut.
Dan Pada Rumusan Masalah kedua menguraikan tentang proses
pelaksanaan ganti kerugian pengadaan tanah, dalam prakteknya terdapat beberapa
tidak sesuai dengan aturan yang dijelaskan. Namun inti dari pelaksanaan tersebut
masih sama. Sesuai dengan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 yang
berawal dari beberapa tahapan yaitu perencanaan, persiapan, pelaksanaan dan
penyerahan hasil.
Dari Pembahasan diatas maka Penulis dapat memberikan kesimpulan pada
pembahasan ke-1 yang mana dalam kasus pertama ini Penulis menguraikan
permasalahan diatas mengenai ketidaksesuaian dengan aturan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2012 bahwa dalam melakukan sosialisasi terdapat nilai ganti
kerugian yang diterima oleh warga untuk mencapai kesepakatan, dan yang
menunjuk appraisal ialah Lembaga Pertanahan sesuai dengan Pasal 31 UndangUndang
Nomor 2 Tahun 2012 bukan Kementerian PUPR. Selanjutnya Menurut
Penulis, hal perlu dicermati dari kasus kedua dan ketiga adalah bukan ganti rugi
dalam bentuk materi melainkan dilihat dari rasa kekecewaan warga yakni sisi
immateriil mereka. Maka dari itu melihat dari kasus diatas penerapan fungsi sosial
dalam pengadaan tanah ini diperlukan serta ganti kerugian immateriil juga
dipandang penting. Sedankan kesimpulan untuk pembahasan ke-2 adalah Proses
pelaksanaan ganti kerugian terdapat pada Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2012 yang dimulai dari inventerisasi dan identifikasi penguasaan,
pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah, penilaian ganti kerugian,
musyawarah mengenai penetapan ganti kerugian, penetapan ganti kerugian, dan
kemudian dilakukannya pelepasan tanah instansi. | en_US |