Show simple item record

dc.contributor.advisorTRIANA, Ohoiwutun
dc.contributor.advisorSAPTI, Prihatmini
dc.contributor.authorADE, Irma Desi Suryani Hutabarat
dc.date.accessioned2018-11-30T11:58:51Z
dc.date.available2018-11-30T11:58:51Z
dc.date.issued2018-11-30
dc.identifier.nimNIM130710101099
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/88667
dc.description.abstractTindak pidana perkosaan merupakan masalah yang sangat serius, terkait adanya keengganan korban untuk melaporkan karena tidak didukung oleh keluarga dan masih melekatnya budaya malu di dalam masyarakat untuk mendiskusikan persoalan perkosaan secara terbuka. Kasus yang menarik untuk dikaji adalah Putusan Pengadilan Negeri Lumajang Nomor 125/Pid.B/2017/PN.Lmj tentang kasus tindak pidana persetubuhan dengan korban yang mengalami retardasi mental. Orang yang mengalami retardasi mental sudah selayaknya untuk dilindungi, namun demikian justru menjadi korban tindak pidana pemerkosaan. Permasalahan dalam skripsi ini yaitu ; (1) Apakah retardasi mental termasuk dalam unsur keadaan tidak berdaya sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 286 KUHP ? dan (2) Apakah alat bukti dalam Putusan Nomor 125/Pid.B/2017/PN.Lmj telah cukup membuktikan kesalahan terdakwa ? Tujuan penelitian adalah untuk untuk mengetahui dan memahami retardasi sebagai unsur keadaan tidak berdaya sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 286 KUHP dan untuk mengetahui dan menganalisis pembuktian dalam Putusan Nomor 125/Pid.B/ 2017/PN.Lmj untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Metode penelitian dalam penulisan skripsi ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dengan pendekatan undang-undang (statute approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Bahan hukum yang dipergunakan adalah bahan hukum sekunder dan primer. Analisis bahan hukum yang dipergunakan adalah analisis deduktif, yaitu cara melihat suatu permasalahan secara umum sampai dengan hal-hal yang bersifat khusus untuk mencapai preskripsi atau maksud yang sebenarnya. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh beberapa hasil pembahasan : Pertama, Majelis Hakim dalam Putusan Nomor 125/Pid.B/2017/PN.Lmj. memutuskan bahwa pelaku bersalah melanggar Pasal 286 KUHP dan terhadap terdakwa dipidana dengan pidana penjara selama 6 (enam) tahun. Dalam kasus tersebut pelaku melakukan persetubuhan dengan korban yang merupakan seorang wanita dengan IQ 51 (retardasi mental ringan) dan saat pemeriksaan terhadap korban, diperoleh hasil bahwa korban terdapat tanda dan gejala gangguan jiwa. Retardasi mental korban tindak pidana persetubuhan termasuk sudah sesuai unsur keadaan tidak berdaya sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 286 KUHP, artinya tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali, sehingga tidak dapat mengadakan perlawanan sedikitpun. Unsur tidak berdaya adalah unsur objektif yang didasari atau diketahui oleh si pembuat. Kondisi tidak berdaya itu bukanlah akibat dari perbuatan si pelaku melainkan suatu kondisi yang sudah terjadi. Si pelaku hanya disyaratkan untuk secara subjektif mengetahui bahwa perempuan tersebut sedang dalam keadaan tidak berdaya. Kedua, Kesesuaian pembuktian dalam Putusan Nomor 125/Pid.B/2017/PN. Lmj untuk membuktikan kesalahan terdakwa pada prinsipnya sudah sesuai dengan pembuktian sebagaimana disyaratkan oleh KUHAP karena sudah memenuhi adanya syarat minimal pembuktian yaitu adanya saksi, keterangan ahli berupa keterangan retardasi mental korban, maupun adanya visum tentang adanya persetubuhan. Namun demikian, menurut hemat penulis perlu dilibatkannya saksi korban dalam penyidikan maupun di sidang pengadilan, karena kategori retardasi mental korban yang tidak terlalu tinggi, sehingga memungkinkan adanya keterangan yang didampaikan oleh korban dikaitkan dengan tindak pidana yang terjadi. Selain itu, keterlibatan saksi dalam hal ini juga perlu untuk dipertimbangkan oleh hakim karena para saksi mengetahui akan dilakukannya atau diduga dilakukannya tindak pidana persetebuhan terhadap korban. Para saksi seharusnya tidak perlu menunggu sampai terjadinya persetubuhan sampai selesai tapi bisa langsung memergoki perbuatan terdakwa terhadap korban. Jaminan perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana persetubuhan ditinjau dari sudut pandang pidana formil dan pidana materiil di Indonesia belum mampu memberikan perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana persetubuhan, karena tidak dicantumkannya sanksi pidana minimal. Penting kiranya dilakukan revisi atas ketentuan Pasal 286 KUHP khususnya tentang adanya sanksi pidana minimal selain maksimal juga perlunya diberikan hukuman tambahan selain hukuman penjara. Selain itu perlu adanya perluasan makna terhadap konsep makna “tidak berdaya” sehingga dapat membantu penegakan hukumnya. Dengan lembaga pendamping korban tindak pidana persetubuhan, diharapkan dapat mengembalikan korban kepada masyarakat khususnya keberadaan kondisi psikologis dan jiwa korban.en_US
dc.language.isoiden_US
dc.relation.ispartofseries130710101099;
dc.subjectTindak pidana perkosaanen_US
dc.subjectkorbanen_US
dc.subjectbudaya maluen_US
dc.subjectperkosaanen_US
dc.titleAnalisis Yuridis Putusan Pidana Dalam Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Korban Retardasi Mental (Putusan Nomor 125/Pid.B/2017/Pn.Lmj) Juridical Analysis Criminal Decision in Crime of Rape Against Victim of Mental Retardation (Verdict Number 125/Pid.B/2017/Pn.Lmj)en_US
dc.typeUndergraduat Thesisen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record