dc.description.abstract | Kedudukan lembaga kejaksaan (Jaksa Agung) yang berada di bawah
eksekutif membuat jaksa menjadi alat eksekutif, bukan sebagai alat negara.
Apalagi jika dikaitkan dengan masalah kemandirian kejaksaan, baik secara
fungsional maupun secara kelembagaan. Seorang jaksa harus bertanggung jawab
secara hierarkis kepada jaksa yang ada di atasnya, dan Jaksa Agung selaku
pimpinan lembaga kejaksaan juga harus bertanggung jawab kepada Presiden.
Kedudukan kejaksaan yang dipimpin Jaksa Agung demikian ini membuat
kejaksaan kurang efektif dalam proses penegakan hukum. Indonesia yang dalam
konstitusinya menyatakan sebuah negara hukum wajib menjamin terlaksananya
asas-asas umum sebuah negara hukum. Salah satu dari asas-asas tersebut adalah
adanya lembaga peradilan yang mandiri. Peradilan dalam sebuah sistem tentunya
meliputi polisi, jaksa, dan hakim. Oleh karena itu, seharusnya negara menjamin
kemandirian ketiga aparat hukum tersebut. Terutama dalam hal ini adalah
lembaga kejaksaan dalam menjalankan fungsi, tugas, dan kewenangannya dalam
sebuah peraturan perundang-undangan. Rumusan masalah dalam skripsi ini yaitu :
(i) Bagaimanakah kedudukan dan kewenangan Jaksa Agung dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia yang diangkat oleh Presiden; (ii) Bagaimanakah
pengaturan tentang pemberhentian Jaksa Agung di dalam Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Penulisan skripsi ini
bertujuan mengkaji dan menganalisa tentang kedudukan dan kewenangan Jaksa
Agung dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang diangkat oleh Presiden, serta
untuk mengkaji dan menganalisa tentang pengaturan pemberhentian Jaksa Agung
di dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia. Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode
yuridis-normatif (legal research) dengan pendekatan masalah melalui pendekatan
undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), dan
pendekatan asas-asas hukum (legal principle approach), dengan bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder, serta bahan non hukum kemudian dilanjutkan
dengan analisa bahan hukum.
xv
Tinjauan pustaka dalam penulisan skripsi ini adalah membahas teori
hukum, teori pemisahan dan pembagian kekuasaan, serta konsep dasar tentang
sistem ketatanegaraan. Tinjauan umum tentang kepala pemerintahan Republik
Indonesia yang meliputi bahasan tentang Presiden, kewenangan Presiden,
pengangkatan dan pemberhentian jabatan publik di lingkungan pemerintahan.
Serta bahasan meliputi tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang diantaranya
kejaksaan, jaksa dan penuntut umum, Jaksa Agung, serta tugas dan wewenang
Kejaksaan Republik Indonesia.
Garis besar pembahasan dalam skripsi ini, bahwa dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia terlihat bahwa kedudukan lembaga kejaksaan (Jaksa
Agung) tidak mandiri baik secara kelembagaan maupun fungsional. Di Indoensia
pengangkatan Jaksa Agung merupakan hak prerogatif Presiden. Hal ini tentunya
sangat berbeda jika kita bandingkan dengan negara lain, misalnya Amerika
Serikat dimana pengangkatan Jaksa Agung melibatkan senat di samping Presiden.
Untuk Indonesia, memang diperlukan sebuah reposisi kelembagaan kejaksaan.
Lembaga kejaksaan sudah tidak seharusnya berada di bawah Presiden dan
pengangkatan Jaksa Agung seharusnya bukan merupakan hak prerogatif Presiden.
Melainkan dengan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat yang sebagai
representasi dari rakyat (fit and proper test). Sehingga lembaga kejaksaan (Jaksa
Agung) dalam menjalankan tugasnya benar-benar mandiri, namun untuk itu perlu
juga diadakan peningkatan profesionalitas aparat kejaksaan itu sendiri. Serta
terkait dengan pemberhentian Jaksa Agung dalam Pasal 22 ayat (1) huruf d
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,
yang menimbulkan multi tafsir sehingga tidak memiliki nilai kepastian hukum.
Saran-saran yang dapat diberikan adalah Diperlukan langkah legislative
review oleh Dewan Perwakilan Rakyat untuk membenahi Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang diantaranya : Perlu
dilakukan reposisi terhadap Lembaga Kejaksaan Republik Indonesia, bahwasanya
kejaksaan harus benar-benar terpisah dari badan eksekutif; Untuk hal ketegasan
independensi lembaga kejaksaan, ada 2 (dua) pilihan yang pertama Kejaksaan
Republik Indonesia sebagai lembaga tersendiri kedudukannya diteguhkan dalam
xvi
konstitusi, mengingat untuk kepentingan independensi itu sendiri serta mengingat
lembaga kejaksaan sebagai lembaga yang sifatnya konstitusional karena
menjalankan tugas wewenang atas nama negara. Atau yang kedua, kembali
memasukkan lembaga kejaksaan dalam Mahkamah Agung mengingat fungsi
lembaga kejaksaan yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Sehingga
lembaga kejaksaan bukan lagi lembaga pemerintah, melainkan masuk dalam
ranah kekuasaan kehakiman secara seutuhnya. Serta untuk tidak terjadinya
kontradiksi antara kedudukan lembaga kejaksaan dengan fungsinya yang memiliki
fungsi yudikatif; Dalam hal pengangkatan Jaksa Agung sebaiknya melibatkan
Dewan Perwakilan Rakyat (fit and proper test), sebagai wujud dari representasi
rakyat Indonesia; Perlu diadakan perubahan terhadap sistem hukum acara pidana,
sehingga seorang jaksa seharusnya dapat bertanggung jawab secara penuh dari
proses penyidikan, penuntutan, hingga pelaksanaan putusan yang sebagai bagian
dari tugasnya; dan Perlu dirumuskan kembali dengan jelas dan tegas terkait masa
jabatan Jaksa Agung (Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesia), yang sebagai bentuk untuk melanjuti
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, agar tidak terulang kembali
permasalahan yang sama dan untuk menghindari multitafsir (polyinterpretabel),
serta demi menjaminnya kepastian hukum dalam peraturan perundang-undangan.
Sehingga aturan tersebut, nantinya memiliki suatu aturan yang jelas dan tegas
(terkait dengan masa jabatan Jaksa Agung). | en_US |