dc.description.abstract | Presiden sebagai pemegang kekuasaan penyelenggaraan negara
memiliki tanggung jawab penuh dalam hal kepala negara sekaligus kepala
pemerintahan. Dalam menjalankan pemerintahan tersebut, presiden dibantu oleh
seorang wakil presiden yang kemudian bertindak sebagai lembaga eksekutif
negara. Pemisahan kekuasaan menempatkan lembaga legislatif dan lembaga
yudikatif yang dilengkapi dengan lembaga negara yang berfungsi sebagai
pengawasan. Pemisahan kekuasaan negara tersebut bertujuan memenuhi
mekanisme check and balances. Mekanisme ini berwujud saling mengawasi satu
sama lain sehingga pertanggungjawaban setiap lembaga negara kepada rakyat
lebih transparan. Perilaku Presiden atau Wakil Presiden selama menjalankan
jabatannya merupakan objek penelitian dalam skripsi ini. Permasalahan yang akan
diteliti dalam skripsi ini yakni mengenai mekanisme pemberhentian Presiden atau
Wakil Presiden yang berdasarkan dugaan perbuatan tercela dan ruang lingkup
perbuatan tercela yang dapat dijadikan dasar pemberhentian Presiden atau Wakil
Presiden baik di Indonesia maupun di Amerika Serikat.
Tujuan dari penulisan ini yaitu, untuk mengetahui dan mendalami
permasalahan dibidang hukum tata negara khususnya terkait dengan proses
pemberhentian Presiden atau Wakil Presiden antara Indonesia dengan Amerika
Serikat atas dugaan perbuatan tercela dan untuk mengetahui dan menganalisa
jangkauan atau ruang lingkup perbuatan tercela yang dapat dipakai dasar
pemberhentian Presiden atau Wakil Presiden di Indonesia dan Amerika Serikat.
Tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah yuridis normatif
dengan metode pendekatan Undang-undang, konseptual, pendekatan historis,
pendekatan asas-asas hukum dan pendekatan komparatif. Bahan hukum yang
digunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Analisis yang
digunakan adalah deskriptif kualitatif, selanjutnya ditarik kesimpulan dengan
menggunakan metode analisis silogisme dan interpretasi yang kemudian di
analisis menggunakan metode ini. Tinjauan Pustaka dalam penulisan skripsi ini
memuat uraian yang sistematik tentang asas, teori, konsep dan pengertianpengertian
yuridis yang relevan yakni mencakup : Negara hukum, sistem
pemerintahan, pengertian pemberhentian Presiden atau Wakil Presiden dan
pengertian perbuatan tercela.
Dalam hal tanggung jawab negara yang dalam sistem pemerintahan
presidensiil baik yang dianut oleh Republik Indonesia maupun Amerika Serikat
sama-sama menempatkan Presiden sebagai kepala negara (head of state) sekaligus
kepala pemerintahan (head of government) yang diatur dalam suatu mekanisme
checks and balances. Dalam USA Constitution article II section 4 : “The
president, vice president and civil officer of united state, shall be removed from
office on impeachment for and conviction of treason, bribery or high crimes and
misdemeanors”. Dari sisi material uraian substansi dari pasal ini dijelaskan bahwa
tidak hanya presiden dan wakil presiden saja yang dapat diberhentikan dari
jabatannya melalui impeachment, namun seluruh pejabat negara sampai tingkatan
xiv
pejabat distrik dapat diberhentikan dari jabtannya melalui proses impeachment
apabila terlibat atau melakukan tindakan yang sesuai dengan rumusan article
impeachment dalam konstitusi amerika serikat, namun dari segi formil, penjelasan
mengenai pengkhianatan negara, penyuapan, tindak pidana berat dan perbuatan
tercela yang menjadi dasar untuk melakukan proses impeachment tidak dijelaskan
secara luas dan mendetail baik dipenjelasan di konstitusi maupun undang-undang
dibawah kosntitusi.
Sedangkan dalam Undang-Undag Dasar 1945 pasal 7A Cakupan pasal ini
dari sisi materiil hanya mengikat dua subjek yang dapat diproses dalam
impeachment yakni presiden dan wakil presiden, mekanisme impeachment
menurut pasal ini dapat ditujukan kepada presiden saja atau wakil presiden saja,
atau presiden atau wakil presiden sekaligus. Pasal ini tidak mengakomodasi
pemberhentian terhadap pejabat negara selain presiden dan wakil presiden karena
pemberhentian pejabat negara dari jabatannya merupakan extraordinary justice
system yang hanya diperuntukan untuk presiden dan wakil presiden saja.
Sedangkan dari sisi formil, sebab-sebab impeachment dalam pasal ini dijelaskan
secara lebih luas di dalam pasal 10 ayat (3) undang-undang no 08 tahun 2011
tentang mahkamah konstitusi.
Melihat dari perbandingan dasar hukum permberhentian presiden atau
wakil presiden atas dugaan perbuatan dari kedua negara, bisa ditarik benang
merah dari kedua aturan tersebut. Bahwa Pengaturan impeachment dalam
konstitusi Amerika Serikat secara materiil lebih luas cakupannya dibandingkan
dengan pengaturan Pemberhentian terhadap Presiden atau Wakil Presiden dalam
konstitusi Republik Indonesia dalam hal subjek yang dapat diproses impeachment.
Kelebihan dari luasnya cakupan subjek dalam Article II Section 4 USA
Constitution ialah dampak langsung terhadap penegakan hukum (law
enforcement) terhadap pejabat negara. Impeachment disini dapat dikatakan
sebagai konsep audit prestasi, maka jika audit prestasi juga ditujukan kepada
pejabat negara selain presiden dan wakil presiden dapat memperkuat penegakan
hukum itu sendiri. Namun kekurangan yang terdapat dalam uraian Article
Impeachment dalam konstitusi Amerika Serikat yaitu mudahnya pejabat negara
untuk di-impeachment karena dianggap memenuhi rumusan pasal dalam
konstitusi. Namun dalam praktiknya di Amerika Serikat sering gagal atau tidak
berhentinya pejabat negara yang diproses impeachment itu baik berhenti sebelum
diproses, berhenti sebelum diputus, atau dibebaskan dari proses impeachment.
Begitu juga lembaga-lembaga yang mengakomodasi proses pemberhentian
Presiden atau Wakil Presiden atas dugaan perbuatan tercela terdapat perbedaan.
Sesuai dengan Konstitusi Amerika Serikat, jelas bahwa House of Representative
dan Senate adalah lembaga negara yang mengakomodasi impeachment. Masing
masing memiliki tugas dan wewenang yang seimbang karena konstitusi Amerika
Serikat memberikan aturan yang tegas mengenai batasan-batasan wewenang
lembaga negara agar tidak terjadi overlapping.
Sedangkan di Indonesia, lembaga negara yang mengakomodasi proses
pemberhentian Presiden atau Wakil Presiden atas dugaan perbuatan tercela
menurut UUD NRI 1945 adalah DPR, MK, dan MPR. Namun jika ditelaah lebih
xv
dalam, masih ada lembaga negara yang sebenarnya memiliki peran dalam proses
ini yakni DPD (Dewan Perwakilan Daerah). DPD sebagai kamar perwakilan
rakyat dalam kekuasaan legislatif negara memiliki wewenang yang jauh di
bawah/lebih lemah dari DPR, padahal kedudukan yang dimiliki oleh DPR dan
DPD dalam konstitusi seimbang. DPD memiliki peran dalam hal menyetujui
untuk diselenggarakannya sidang istimewa MPR dan memberikan suara terhadap
penentuan berhenti atau tidaknya presiden dan/atau wakil presiden setelah proses
proses pemberhentian Presiden atau Wakil Presiden atas dugaan perbuatan tercela
dilakukan di DPR dan MK. Karena jika tanpa DPD, maka MPR tidak bisa
terbentuk apalagi untuk menyelenggarakan sidang istimewa.
Mengenai ruang lingkup dari “Perbuatan tercela” dalam konteks atau sudut
pandang impeachment atau pemberhentian dari jabatan adalah merupakan suatu
perbuatan (tindakan) yang tidak bermoral atau melanggar etika norma-norma
kehidupan di masyarakat yang dilakukan dalam masa jabatannya dan dianggap
dapat merendahkan harkat martabat sebagai pejabat negara yang dalam hal ini
Presiden atau Wakil Presiden serta perbuatan tersebut memiliki konsekuensi
hukum dan politik.
Diharapkan pada kedepannya proses pemberhentian terhadap Presiden
atau Wakil Presiden di Indonesia seharusnya berkiblat dengan impeachment di
Amerika Serikat, dimana putusan yang dikeluarkan dalam sidang yang dipimpin
oleh Chief of Supreme of court dapat langsung menjadi landasan dan dasar hukum
apakah Presiden atau Wakil Presiden yang didakwah masih menjabat atau tidak.
Hal ini diharapakan dapat menjadi acuan dalam Proses pemberhentian Presiden di
Indonesia, dengan tujuan agar putusan MK yang telah berkekuatan hukum tetap
dan tidak ada upaya hukum lagi dapat dijalankan sesuai amar putusan, serta tidak
dikembalikan lagi kepada proses politik di MPR melalui sidang Istimewa. Begitu
juga definisi mengenai “perbuatan tercela” harus lebih spesifik dan komperhensif
agar tidak multitafsir serta konsekuensi dari perbuatan tersebut harus jelas, baik di
dalam Konstitusi maupun Undang-undang dibawahnya. | en_US |