Show simple item record

dc.contributor.authorIRMA SA’ADA NAZIAT
dc.date.accessioned2013-12-13T01:20:42Z
dc.date.available2013-12-13T01:20:42Z
dc.date.issued2013-12-13
dc.identifier.nimNIM090710101200
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/8749
dc.description.abstractAdat istiadat yang hidup dan berkembang di setiap daerah dikenal dengan hukum adat. Dalam hukum adat, tanah memiliki kedudukan yang penting karena merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami keadaan yang bagaimanapun akan tetap dalam keadaan semula, malah kadangkadang menjadi lebih menguntungkan, dipandang dari segi ekonomi. Pada zaman dahulu, perjanjian yang dilakukan antar pemilik tanah dengan orang lain yang mendirikan rumah di atas tanah milik orang lain dilakukan dengan perjanjian adat yaitu perjanjian secara lisan. Perjanjian yang dilakukan ini sewaktu-waktu bisa saja salah satu pihak wanprestasi, seperti dalam kasus yang telah diputus oleh Mahkamah Agung (untuk selanjutnya disingkat MA) dengan putusan Nomor 110 K/Pdt/2008. Dalam usaha untuk memperoleh kembali tanah sengketa tersebut maka pemohon kasasi pernah mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Takalar yang kemudian dilanjutkan banding ke Pengadilan Tinggi Makassar dan terakhir mengajukan memori kasasi yang diterima di kepaniteraan Pengadilan Negeri Takalar. Dari beberapa upaya hukum tersebut sampai dikeluarkannya putusan MA Nomor 110 K/Pdt/2008 bahwa MA tidak mengabulkan permohonan dari pemohon kasasi dengan pertimbangan hukum bahwa penggugat tidak berhasil membuktikan dalil gugatannya mengenai adanya izin dari Sulemang kepada Sagala Dg Rikong untuk menempati tanah sengketa. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka akan diteliti dan dibahas lebih lanjut dalam suatu karya ilmiah berbentuk skripsi dengan judul “KEKUATAN PEMBUKTIAN PERJANJIAN ADAT TERHADAP WANPRESTASI DALAM HAK NUMPANG KARANG (PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 110 K/PDT/2008)”. Rumusan masalah yang dikemukakan dalam skripsi ini adalah: Pertama, mengenai kekuatan pembuktian perjanjian adat terhadap wanprestasi dalam hak numpang karang; Kedua, mengenai dasar pertimbangan hukum yang digunakan oleh hakim MA dalam menjatuhkan putusan nomor 110 K/Pdt/2008 telah sesuai dengan hukum adat yang berlaku. Penyusunan skripsi ini bertujuan untuk memahami berbagai macam hukum yang berlaku di masyarakat Indonesia, untuk mengetahui kekuatan pembuktian perjanjian adat apabila terjadi wanprestasi dalam perjanjian adat dan untuk mengetahui penerapan hukum adat di lingkungan peradilan umum apabila terjadi sengketa dalam perjanjian adat. Metode penulisan dalam skripsi ini menggunakan tipe penelitian yuridis normatif. Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan kasus (case approach) serta menggunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan non hukum yang digunakan sebagai sumber bahan hukum dalam penelitian skripsi ini. Adapun kesimpulan dalam skripsi ini adalah perkara hukum adat yang diselesaikan melalui lembaga peradilan menuntut supaya hakim mampu untuk menggali hukum adat yang tumbuh, hidup serta berkembang di dalam masyarakat. Perjanjian lisan dalam hak numpang karang apabila terjadi wanprestasi masih dapat dibuktikan meskipun perjanjian itu dilakukan secara lisan. Berdasarkan peraturan dalam hukum acara perdata bahwa bukti yang pertama kali dipakai xiv dalam masalah perdata adalah tulisan. Bukti tulisan ini pada putusan MA Nomor 110 K/Pdt/2008 dapat diketahui dari tanah sengketa yang telah terdaftar dalam buku tanah desa atas nama Sulemang selaku orang tua dari pemohon kasasi. Kemudian saksi yang dihadirkan dalam persidangan kurang menguatkan dalil gugatan dari penggugat dan penggugat tidak bisa membuktikan dalil gugatannya yang menyatakan tentang adanya izin dari Sulemang kepada Sagala Dg Rikong untuk menempati tanah sengketa maka hakim berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman maka hakim harus menggali, mengikuti serta memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Hakim dapat meminta keterangan atau pendapat ahli berkaitan dengan hal ini yaitu hakim dapat mendatangkan ketua adat yang mengerti dan paham mengenai hukum adatnya. Jadi, kekuatan pembuktian perjanjian adat dapat dibuktikan dengan cara hakim dapat menggali hukum adat yang tumbuh, hidup dan berkembang di dalam masyarakat daerah hukum hakim serta keterangan ahli yaitu ketua adat yang lebih mengetahui tentang hukum adat yang berkembang di daerahnya. Kemudian putusan MA Nomor 110 K/Pdt/2008 tidak sesuai dengan hukum adat yang berlaku sebab dalam hukum adat diakui adanya perjanjian yang berkaitan dengan tanah dilakukan secara lisan termasuk juga dengan hak numpang. Sedangkan pada pertimbangan hukum hakim beralasan bahwa pemohon kasasi tidak dapat membuktikan tentang adanya izin yang diberikan oleh Sulemang kepada Sagala Dg Rikong untuk menempati obyek sengketa. Padahal dalam hukum adat suatu perjanjian yang dilakukan itu atas dasar pada rasa tolong menolong dan kekeluargaan serta pengaruh dari ajaran agama yang mengajarkan untuk saling tolong menolong dalam hal membantu sesama manusia yang saling membutuhkan.en_US
dc.language.isootheren_US
dc.relation.ispartofseries.090710101200;
dc.subjectPEMBUKTIAN PERJANJIAN ADAT, WANPRESTASIen_US
dc.titleKEKUATAN PEMBUKTIAN PERJANJIAN ADAT TERHADAP WANPRESTASI DALAM HAK NUMPANG KARANG (PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 110en_US
dc.typeOtheren_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record