Show simple item record

dc.contributor.advisorSunarko, Bagus Sigit
dc.contributor.advisorMolasy, Honest Dody
dc.contributor.authorChoirun, Rifqa Ayudiah
dc.date.accessioned2018-07-30T06:49:32Z
dc.date.available2018-07-30T06:49:32Z
dc.date.issued2018-07-30
dc.identifier.nimNIM120910101006
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/86728
dc.description.abstractKeputusan untuk mengakui transgender sebagai gender lain di luar laki-laki dan perempuan (binary gender) oleh suatu negara bukanlah hal mudah. Hal tersebut dikarenakan, adanya gender lain selain gender biner dianggap sebagai hal yang tabu oleh masyarakat umum. Begitu pula dengan yang terjadi di India. India sebelumnya tidak melegalkan transgender. Pemerintah India justru menangkap dan memenjarakannya. Akan tetapi, pada 15 April 2014 Mahkamah Agung India memutuskan untuk melegalkan transgender sebagai gender ketiga di Negaranya. Keputusan Mahkamah Agung India tersebut tampak kontras dengan perilaku Mahkamah Agung India sebelumnya yang masih memberlakukan Hukum Kolonial Inggris. Hukum Kolonial Inggris yang diterapkan sebelumnya mengkategorikan transgender sebagai orang-orang kriminal, transgender harus ditangkap dan dipenjarakan. Setelah transgender dilegalkan, Mahkamah Agung India juga memutuskan untuk tidak lagi memberlakukan Hukum Kolonial Inggris yang masih tersisa dalam mengatur transgender. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana transgender dapat dilegalkan sebagai identitas baru (gender ketiga) di India. Penulis menggunakan teori pembentukan norma oleh Martha Finnemore dan Kathryn Sikkink. Teori ini menjelaskan tentang pembentukan norma domestik yang dipengaruhi oleh norma internasional. Metode Penelitian yang digunakan oleh penulis dalam karya ilmiah ini menggunakan metode Library Research atau mengaplikasikan metode pengumpulan data berbasis dokumen (document-based research). Penulis mengumpulkan data-data sekunder dari beberapa buku, jurnal, surat kabar, buletin, majalah, artikel dan sebagainya. Dapat dikatakan bahwa penulis tidak melakukan observasi langsung di lapangan terhadap kasus yang diteliti. Hasil penelitian dalam karya ilmiah ini yaitu kasus pelegalan transgender India ini melewati tiga tahap pembentukan norma. Tahap pertama yaitu norm emergence atau tahap kemunculan norma. Tahap memunculkan isu dan norma ini disuarakan oleh aktivis pendukung transgender, baik aktivis domestik maupun aktivis internasional. Tahap kedua yaitu norm cascade atau tahap penyebarluasan norma. Isu dan norma yang disuarakan oleh aktivis di tahap norm emergence mendapat penerimaan oleh organisasi dan komunitas internasional. Penerimaan tersebut terwujud dalam disusunnya sebuah aturan universal untuk mengatur transgender dan homoseksual. Aturan tersebut juga merekomendasikan untuk tidak mendiskriminasi dan harus mengakui HAM transgender. Aturan yang disusun tersebut diadopsi oleh PBB dan menjadi hukum internasional. Tahap ketiga yaitu tahap internalisasi. Pada tahap ini, norma yang telah ada di lingkup internasional diadopsi oleh Negara India dan dijadikan sebagai pertimbangan Mahkamah Agung India untuk melegalkan transgender sebagai gender ketiga di Negaranya. Proses internalisasi norma terus berlanjut di India yang dibantu oleh lembaga pemerintahan lainnya seperti eksekutif dan legislatif.en_US
dc.language.isoiden_US
dc.relation.ispartofseries120910101006;
dc.subjectNormaen_US
dc.subjectTransgenderen_US
dc.subjectIndiaen_US
dc.titlePembentukan Norma dan Pengakuan Transgender sebagai Gender Ketiga di Indiaen_US
dc.typeUndergraduat Thesisen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record