Show simple item record

dc.contributor.advisorKhoidin.
dc.contributor.advisorSuparto, Nanang
dc.contributor.authorRACHMAWATI, AYUDYA RIZQI
dc.date.accessioned2018-04-06T00:36:46Z
dc.date.available2018-04-06T00:36:46Z
dc.date.issued2018-04-06
dc.identifier.nimNIM 140710101214
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/85249
dc.description.abstractPerjanjian jual beli merupakan bentuk peralihan hak yang paling banyak terjadi di dalam masyarakat. Jual beli dapat diartikan sebagai perjanjian timbal balik yaitu pihak yang satu sebagai penjual berjanji menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedangkan pihak yang lainnya berjanji untuk membayar harga yang terdiri dari sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut. Jual beli tanah pada hakikatnya merupakan salah satu pengalihan hak atas tanah dari penjual kepada pembeli tanah, tetapi peralihan hak pemilikan itu dapat terjadi karena faktor hukum misalnya dengan cara penerusan dalam hal ini dicontohkan dengan peristiwa hukum yang berupa pewarisan, karena segala harta kekayaan seseorang dapat beralih menjadi harta warisan sejak orang tersebut meninggal dunia. Suatu perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian yang tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu: kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu pokok persoalan tertentu, dan suatu sebab yang tidak dilarang. Selain itu Jual beli hak milik atas atas tanah juga harus memenuhi ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) serta Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah yang telah diubah menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah. Perjanjian jual beli hak milik atas tanah harus memenuhi syarat sah dan ketentuan-ketentuan yang telah ditentukan dalam peraturan perundangundangan, apabila syarat sahnya perjanjian dan ketentuan perjanjian jual beli atas tanah tidak terpenuhi, maka akan mengakibatkan perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum. Pada kasus yang dikaji penulis jual beli hak milik atas tanah tersebut dilakukan oleh orang yang tidak berhak terhadap tanah warisan yang dimiliki oleh ahli waris yang cacat mental. Kasus tersebut bermula ketika, saudara tertua dari ahli waris yang menderita cacat mental menjual tanah tegal dan sawah (warisan) peninggalan orang tuanya dengan alasan untuk memenuhi biaya hidup sehari-hari adiknya yang menderita gangguan jiwa. Tanah tegal dan sawah tersebut padahal merupakan bagian dari harta warisan yang diberikan oleh kedua orang tuanya untuk adiknya yang menderita cacat mental, sebagaimana yang pernah di ceritakan orang tuanya kepada beberapa kerabat sebelum meninggal. Pembagian harta tersebut dilakukan secara lisan sesuai dengan kebiasaan masyarakat setempat. Perjanjian jual beli atas tanah warisan tersebut dilakukan tanpa adanya persetujuan dari ahli waris yang mengalami cacat mental yang mempunyai hak atas tanah warisan tersebut serta tanpa adanya penetapan yang dikeluarkan pengadilan yang menetapkan saudara tertua dari ahli waris yang menderita cacat mental sebagai pengampu dari adiknya yang menderita cacat mental.en_US
dc.language.isoiden_US
dc.subjectHARTA AHLI WARISen_US
dc.titleKEABSAHAN PERJANJIAN JUAL BELI HAK MILIK ATAS TANAH OLEH ORANG YANG TIDAK BERHAK TERHADAP HARTA AHLI WARIS YANG CACAT MENTALen_US
dc.typeUndergraduat Thesisen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record