Show simple item record

dc.contributor.advisorSetyawan, Fendi
dc.contributor.advisorWidiyanti, Ikarini Dani
dc.contributor.authorBELLA, DWI SHINTA
dc.date.accessioned2018-03-08T07:24:53Z
dc.date.available2018-03-08T07:24:53Z
dc.date.issued2018-03-08
dc.identifier.nim130710101113
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/84520
dc.description.abstractDi Indonesia peranan Perbankan sebagai sumber pembiayaan dunia usaha masih sangat dominan. Bank sebagai salah satu lembaga keuangan hadir ditengah masyarakat untuk menyalurkan dana yang dihimpun dari masyarakat dan dikembalikan lagi kepada masyarakat dalam bentuk kredit. Sesungguhnya pemberian kredit yang aman bagi kreditur adalah pemberian kredit yang menggunakan agunan. Menjadi permasalahan apabila dalam pemberian kredit tidak disertakan agunan adalah jika debitur gagal bayar (wanprestasi) atas kredit atau fasilitas yang telah diterimanya dari perbankan. Perbankan seharusnya dapat meminta pembayaran dari debitur dan bila diperlukan akan menjual seluruh aset yang dimiliki oleh debitur dengan batasan dan ketentuan yang diatur oleh peraturan yang ada guna mendapatkan pembayaran atas fasilitas kredit yang telah diberikan kepada debitur. Penyaluran kredit tanpa agunan didalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan belum mengatur secara khusus tentang pemberian kredit tanpa agunan hal ini menjadi permasalahan bagi pihak bank itu sendiri. Seharusnya ada yang mengatur tentang bagaimana sistem penyaluran kredit yang lebih hati-hati (prudent) dan tepercaya serta bagaimana cara penagihannya. Fokus penyaluran kredit tanpa agunan yang mengedepankan prinsip kehati-hatian diharapkan selain dapat menghindari kredit macet (non performing loan/ NPL) dan fraud (penggelapan dana). Penulis menganalisis 3 (tiga) permasalahan yang kemudian dibahas dalam skripsi ini. Pertama, bagaimana perjanjian kredit bank tanpa agunan ditinjau dari Undangundang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan?; Kedua, bagaimana tanggung jawab debitur terhadap kreditur jika debitur gagal bayar akibat terjadinya resiko usaha dan tidak adanya agunan?; dan ketiga, Bagaimana upaya penyelesaian kredit macet yang dapat dilakukan oleh kreditur akibat terjadinya resiko usaha milik debitur dan tidak adanya barang agunan?. Tujuan dilakukannya penelitian ini secara khusus adalah untuk mengetahui dan memahami perjanjian kredit bank tanpa agunan ditinjau dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan; lalu untuk mengetahui dan memahami tanggung jawab debitur terhadap kreditur jika debitur gagal bayar akibat tejadinya resiko usaha dan tidak adanya jaminan; dan untuk mengetahui dan memahami penyelesaian kredit macet yang dapat dilakukan oleh kreditur akibat terjadinya resiko usaha milik debitur dan tidak adanya barang agunan. Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah Tipe yuridis normatif. Pendekatan masalah yang digunakan, yaitu pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan pendekatan konseptual (conseptual approach). yang mana pendekatan konseptual yang digunakan, yaitu konsep perjanjian kredit tanpa agunan. Bahan hukum yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan bahan non hukum. Analisa hukum yang dilakukan adalah dengan menggunakan metode deduktif, yaitu suatu metode yang berpangkal dari hal yang bersifat umum menuju permasalahan yang bersifat khusus. Kemudian menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi dan memberikan preskripsi berdasarkan argumentasi yang dibangun dari kesimpulan. Hasil pembahasan dalam kesimpulan dari penulisan skripsi ini adalah: Pertama, Dalam Penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan disebutkan bahwa jaminan pemberian kredit dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, bank melakukan penilaian atas jaminan sebelum memberikan kredit kepada debitur. Penilaian kredit tanpa agunan sebagai syarat pemberian kredit pada prinsipnya sama dengan penilaian untuk pemberian kredit dengan agunan. Perbedaannya terletak pada unsur agunan atau Collateral tersebut tidak dalam bentuk barang, tetapi dalam bentuk kepercayaan pihak bank kepada calon debiturnya dengan melihat unsur 5C (character, capacity, capital, collateral, condition of economy) dan 4P (Personality, Purpose, Prospect dan Payment) untuk melihat kesanggupan dan kemampuan calon debitur dalam melunasi kredit tanpa agunan tersebut. Kedua, Tangung jawab debitur kepada krediturnya ketika mengalami kesulitan dalam pelunasan hutang bank adalah dengan mendatangi pihak bank dan melakukan negosiasi dalam penyelesaian hutang yang dimiliki nasabah debitur. Namun bila hal tersebut tidak membuahkan hasil dapat melakukan cara dengan alternatif penyelesaian sengketa di sektor perbankan yang difasilitasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tanpa pungutan biaya sesuai dengan Peraturan OJK No. 1/POJK.07/2014 Tentang lembaga alternatif penyelesaian sengketa di sektor perbankan melalui mediasi, ajudikasi atau arbitrase. Ketiga, Upaya penyelesaian kredit macet tanpa ada agunan yang harus dilakukan kreditur apabila pembayaran angsuran debitur tergolong tidak lancar, maka pihak Bank akan melakukan beberapa tahap guna menyelesaikan Kredit macet dengan tahap pertama yaitu melakukan penagihan secara intensif terhadap nasabah yang masih berprospek dan dianggap masih mempunyai iktikad baik, namun telah menunjukkan gejala kearah kredit bermasalah, dilakukan penagihan secara intensif kepada nasabah agar memenuhi seluruh kewajibannya, memberikan surat teguran kepada debitur dengan tujuan memberitahukan tenggang waktu pembayaran kredit tanpa agunannya, namun jika debitur tetap tidak memenuhinya maka kreditur dapat melakukan tindakan selanjutnya yaitu melalui cara non litigasi yaitu penyelesaian sengketa alternatif diluar pengadilan dengan cara negosiasi, mediasi, ajudikasi dan arbitrase serta dengan cara litigasi yaitu penyelesaian sengketa melalui jalur didalam pengadilan. Saran penulis, yakni: Pertama, Hendaknya bagi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Perlu adanya pengawasan terhadap bank-bank umum yang lebih ketat untuk pemberian kredit tanpa agunan yang dilakukan oleh bank umum serta perlunya direalisasikan Rancangan Undang-Undang Perkreditan Perbankan demi tercapainya kepastian hukum dalam industri perkreditan di Indonesia serta pengaturan tentang agunan pada pemberian kredit tanpa agunan. Kedua, Hendaknya bagi pihak Bank sebagai pemberi Kredit Tanpa Agunan wajib melakukan prinsip kehati-hatian sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan dalam pemberian kredit kepada calon nasabah debiturnya agar meminimalisir resiko kerugian yang ditanggung jika suatu saat debiturnya mengalami masalah kredit macet.; Dan Ketiga Hendaknya bagi Debitur sebelum melakukan perjanjian kredit tanpa agunan wajib melihat aplikasi atau syarat dari perjanjian kredit tanpa agunan tersebut apakah sudah sesuai dengan kondisi keuangan yang dimiliki dan hendaknya memikirkan resiko yang akan terjadi nantinya.en_US
dc.language.isoiden_US
dc.subjectKREDITURen_US
dc.subjectDEBITURen_US
dc.titlePERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KREDITUR ATAS GAGAL BAYAR DEBITUR AKIBAT TERJADINYA RESIKO USAHA DAN TIDAK ADANYA AGUNANen_US
dc.typeUndergraduat Thesisen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record