dc.description.abstract | Amar pokok putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya ialah menyatakan batal sertifikat hak atas tanah Nomor 120/Desa Petung Kecamatan Bangsalsari Kabupaten Jember sesungguhnya tidak menyelesaikan masalah secara tuntas. Amar declaratoir tersebut hanya terbatas pada pernyataan bahwa sertifikat hak milik Nomor 120/Desa Petung tersebut batal, sedangkan hak atas tanah tersebut tidak dengan sendirinya hilang.
Sertifikat tanah bukan satu-satunya alat bukti hak atas tanah dan bukan bukti mutlak, karena masih terdapat bukti lain yang dapat membuktikan hak atas kepemilikan tanah. Penilaian dan pertimbangan siapa yang berhak atas tanah yang bersangkutan adalah wewenang hakim perdata.
Sertifikat tanah sebagai alat bukti hak atas tanah yang kuat diterbitkan oleh kepala pertanahan yang diangkat oleh Kepala Badan pertanahan Nasional. Kepala kantor Pertanahan merupakan Pejabat Tata Usaha Negara yang memperoleh wewenang atau wewenang yang dilimpahkan kepadanya oleh pemerintah untuk menyelenggarakan pendaftaran tanah, maka Kepala Kantor Pertanahan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang kemudian menjadi objek sengketa di Peradilan Tata usaha Negara sehingga menurut hukum. Kepala Kantor pertanahan harus dianggap bertanggung jawab atas terbitnya Keputusan Tata Usaha Negara tersebut dan oleh karena itu ia digugat di Peradilan tata Usaha Negara. Sertifikat tanah sebagai alat bukti yang kuat, mempunyai kekuatan pernbuktian yang sempurna. Dasar hukum dalam penerbitan sertifikat tanah mempunyai akibat hukum yang berbeda terhadap sertifikat tanah, dan pendaftaran sebagai suatu tindakan hukum atas tanah yang dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan merupakan Keputusan tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam kapasitasnya sebagai Pejabat Tata Usaha Negara. Oleh karena Sertifikat tanah merupakan refleksi dari suatu ketetapan tertulis, maka setiap terjadi gugatan yang berkaitan dengan sertifikat tanah menjadi kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara.
Dalam konteks sengketa Agraria (tanah) pada dasarnya salah satu pihak dapat mengajukan kasusnya ke peradilan Tata Usaha Negara. Akan tetapi Peradilan Tata Usaha Negara hanya dapat memutuskan perkara yang berkaitan dengan soal adrninistratif ke Tata Usahaan Negara. Peradilan Tata Usaha Negara tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan perkara yang termasuk dalam Iingkup hukum perdata hak atas tanah, sehingga masalah yang dihadapi oleh yang berkepentingan sehubungan dengan sengketa agraria (tanah) adalah apakah pemeriksaan tersebut mejadi kompetensi Peradilan Umum atau Kompetensi Peradian Tata Usaha Negara.
Oleh karena itu perlu dibentuk suatu Pengadilan yang berfungsi untuk menyelesaikan masalah dari aspek Tata Usaha Negara atau aspek perdata secara Parsial, sehingga masalah sengketa agraria (tanah) dapat diselesaikan secara komprehensif, baik dari aspek Tata Usaha Negara maupun aspek Perdata secara bersama-sarna, sehingga proses pengadilan dapat berlangsung dengan baik, cepat dan tepat. Dengan demikian tidak ada konflik kompetensi antara Peradilan Tata Usaha Negara dengan Peradilan Umum atau konflik kompetensi tentang pemeriksaan, peradilan mana yang didahulukan atau yang berwenang memeriksa sengketa tersebut. Objek sengketanya adalah sertifikat tanah atau sertifikat hak atas tanah. Fundamentum petendi gugatan adalah adanya aspek Tata Usaha Negara dan aspek perdata dengan petitum gugatan menuntut pembatalan sertifikat tanah. Hal ini tidak lepas dari sisi ganda sertifikat tanah yaitu sisi Keputusan Tata Usaha Negara dan disisi lain sebagai bukti hak keperdataan.
Sengketa tersebut terjadi sebagai akibat adanya Keputusan Tata Usaha Negara berupa sertifikat hak milik Nomor 120/ Desa Petung dan Nomor 121/ Desa Petung, keduanya mengenai bidang tanah yang sama, namun dalam hal sengketa tersebut terdapat sengketa perdata yang menyangkut pembuktian tentang status dan hak atas tanah yang menjadi kewenangan hakim perdata, maka sengketa perdata tersebut seharusnya terlebih dahulu diselesaikan melalui peradilan umum. | en_US |