Show simple item record

dc.contributor.advisorSUSANTI, Dyah Ochtorina
dc.contributor.advisorWIDIYANTI, Ikarini Dani
dc.contributor.authorALFAN, Muhammad Amirul
dc.date.accessioned2017-10-20T01:17:53Z
dc.date.available2017-10-20T01:17:53Z
dc.date.issued2017-10-20
dc.identifier.nimNIM130710101051
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/82352
dc.description.abstractTujuan dari penulisan skripsi ini terdiri dari tujuan umum dan tujuan khusus. Metode penelitian meliputi tipe penelitian yang bersifat yuridis normatif, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Bahan hukum yang digunakan meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum sekunder dengan menggunakan analisa bahan hukum sebagai langkah terakhir. Tinjauan pustaka dari skripsi ini membahas mengenai pertama yaitu terdiri dari perkawinan, pengertian dan dasar hukum perkawinan, asas-asas perkawinan yang mana pengertian-pengertian ini dikutip oleh penulis dari beberapa sumber bacaan maupun perundang-undangan yang ada di Indonesia, serta berada dalam Al-Qur’an dan Hadist. Kemudian yang kedua yakni mengenai poligami, pengertian dan alasan melakukan poligami, yang dikutip oleh penulis dari dari beberapa sumber bacaan maupun perundang-undangan yang ada di Indonesia. Kemudian yang ketiga terdiri dari hasrat seksual (libido), yang berupa pengertian dari hasrat seksual (libido), yang dikutip oleh penulis dari beberapa sumber bacaan. Pembahasan dari skripsi ini yang pertama mengenai alasan suami yang menyatakan memiliki hasrat seksual (libido) yang tinggi sebagai alasan untuk melakukan poligami. Kemudian yang kedua mengenai pertimbangan hakim dalam putusan Pengadilan Agama Blambangan Umpu No.016/Pdt.G/2013/Pa.Blu yang mengabulkan permohonan Pemohon telah sesuai dengan ketentuan hukum perkawinan yang berlaku. Adapun kesimpulan dalam skripsi ini adalah alasan suami yang menyatakan memiliki hasrat seksual (libido) yang tinggi tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan poligami. Dalam hukum Islam, berpoligami bukanlah suatu perintah dan juga bukan suatu anjuran namun hanya sebagai sesuatu yang dibolehkan. Dan syarat untuk berpoligami tersebut adalah mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya. Dalam KHI juga ditegaskan bahwasanya poligami diperbolehkan maksimal hanya empat orang pada waktu yang bersamaan dan syaratnya adalah bahwa suami mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya nanti. Selain itu, masih berdasarkan KHI bahwa untuk berpoligami juga harus mendapatkan izin dari pengadilan. Dan pengadilan Agama hanya dapat memberikan izin untuk poligami kepada suami apabila 1) Istri tidak mampu menjalankan kewajibannya sebagai istri; atau 2) Istri menderita penyakit parah yang tidak dapat disembuhkan; atau 3) Istri tidak dapat melahirkan keturunan seperti dalam pasal 4 (2) UU No.1 Tahun 1974. Akan tetapi berdasarkan ketentuan-ketentuan yang mengacu pada hukum Islam, KHI, dan UU No.1 Tahun 1974 diatas, tidaklah disebutkan secara tegas bahwasanya keadaan hasrat seksual tinggi (libido) dari suami adalah termasuk salah satu alasan bagi suami untuk berpoligami. Sehingga kesimpulan yang dapat ditarik adalah alasan suami tersebut yang menyatakan bahwa dirinya memiliki hasrat seksual (libido) yang tinggi tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan poligami. Pertimbangan hukum hakim dalam kasus ini adalah bahwasanya istri atau TERMOHON sebenarnya masih dapat melaksakan kewajibannya sebagai istri, akan tetapi, karena tingginya hasrat seksual (libido) yang tinggi dari suami atau PEMOHON tersebut sehingga menurut hakim itu adalah sebuah indikasi yang menunjukkan bahwa TERMOHON sudah tidak bisa lagi melaksanakan kewajibannya sebagai istri. Berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku, bahwasanya keadaan yang memperbolehkan pengadilan untuk memberikan izin poligami adalah ketika terjadi kondisi seperti dalam pasal 4 (2) UU No.1 Tahun 1974 diatas. Pada unsur-unsur di pasal 4 (2) UU No.1 Tahun 1974 tersebut tidaklah disebutkan bahwa keadaan suami yang menyatakan memiliki hasrat seksual (libido) tinggi dapat menjadi alasan suami untuk menikah lagi. Kemudian pertimbangan hakim yang mengindikasikan bahwa TERMOHON adalah tak mampu lagi menjalankan kewajibannya sebagai istri adalah tidak tepat. Apabila merujuk pada ketentuan hukum yang berlaku, dikatakan bahwasanya kewajiban istri dalam keluarga bukanlah hanya sebatas kewajiban dalam berhubungan seksual saja. Pada hukum Islam, kewajiban utama istri dalam keluarga adalah taat pada suami dalam hal-hal yang tidak dilarang oleh Allah dan juga mampu menjaga dirinya baik ketika berada di depan suami maupun dibelakangnya. Sementara pada UU No.1 Tahun 1974 kewajiban istri dalam keluarga adalah mengatur urusan rumah tangga keluarga sebaik-baiknya. Selanjutnya pada KHI juga dikatakan bahwa kewajiban istri adalah berbakti secara lahir batin terhadap suami dan juga menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga. Sehingga kesimpulan hakim yang mengambil kesimpulan berdasarkan pernyataan suami yang menyatakan memiliki kebutuhan seksual yang sangat tinggi sehingga istri tak mampu lagi menjalankan kewajibannya adalah tidak tepat karena berdasarkan ketentuan hukum Islam, KHI, dan UU No.1 Tahun 1974 tadi dapat ditarik kesimpulan bahwa kewajiban istri dalam keluarga lebih dari sekadar memenuhi hasrat atau kebutuhan seksual dari suami saja.en_US
dc.language.isoiden_US
dc.relation.ispartofseries130710101051;
dc.subjectPOLIGAMIen_US
dc.subjectSUAMIen_US
dc.titlePEMBERIAN IZIN POLIGAMI TERHADAP SUAMI YANGMEMILIKI HASRAT SEKSUAL (LIBIDO) YANG TINGGI (Studi Putusan No.016/Pdt.G/2013/Pa.Blu)en_US
dc.typeUndergraduat Thesisen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record